PENGUPAHAN DALAM ISLAM
Oleh : Mohammad
Suyudi
1.
Pengertian Upah
Dalam Islam, upah dikenal dengan istilah ujrah
yang artinya upah. Upah itu sendiri merupakan salah satu bentuk
pemberian yang terdapat dalam suatu akad kerjasama antara seseorang dengan
orang lainnya, yang termasuk ke dalam kategori akad yang dikenal dengan istilah
al-Ijarah.[1]
Oleh karena itu dalam melakukan kad upah
mengupah perlu memenuhi rukun dan syarat yang ada dalam ijarah itu sendiri. Di
mana hal ini akan dibahas secara rinci terkait dengan akad Ijarah dalam
hukum Islam.
a.
Pengertian Ijarah
Secara bahasa lafal al-ijarah dalam
bahasa arab berarti upah, sewa jasa, atau imbalan. Al-ijarah
merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup
manusia, seperti sewa menyewa, kontrak, atau sewa jasa perhotelan dan lain-lain.[2]
Di dalam teori ekonomi upah diartikan sebagai pembayaran
ke atas jasa-jasa fisik maupun mental yang di sediakan oleh tenaga kerja kepada
para pengusaha. [3] Menurut Drs. Malayu
S. P. Hasibuan mendefinisikan bahwa upah adalah balas jasa yang dibayarkan
kepada pekerja harian dengan pedoman atas perjanjian yang disepakati
pembayarannya. [4]
Sedangkan secara terminologi, ada beberapa definisi al-ijarah yang di kemukakan oleh ulama fiqih. Adapun
definisi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1)
Ulama
Hanafiyah
عَقْدٌ عَلَى مَنَا فِعَ بِعِوَضٍ
“Transaksi terhadap suatu manfaat dengan
imbalan”.
2) Ulama Malikiyah dan Hanabilah
تَمْلِيْكَ منَافِعِ
سَئٍ مُبَاحة مُدَّةً مَعْلُوْ مَةِّ بِعِوَضِ
“Suatu akad yan memberikan hak milik atas manfaat suatu barang
mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat”.
3) Ulama Syafi’iyah
عَقْدُّ عَلَى
مَنْفَعَةِ مَقْصُدَةٍمَعْلُوْ مَةِّمُبَاحة قَابِلَةِ لِلْبَذْلِ وَالْاِبَاحَةِ
بِعِوَضٍ مَعْلُوْمٍ
“Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu
yang bisadiberikan dan dibolehkan dengan
imbalan tertentu”[5].
Ijarah adalah pemilikan jasa dari seorang ‘ajir (orang
yang kontrak tenaganya) oleh seorang musta’jir (orang yang
mengontrak tenaga), serta pemilikan harta dari pihak musta’jir oleh seorang ‘ajir. Dimana ijarah merupakan transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai
kompensasi. Transaksi mengontrak ‘ajir tersebut adakalanya dengan
menyebutkan jasa pekerjaan itu sendiri. Apabila transaksi tersebut menyebutkan
jasa pekerjaan tertentu, maka yang disepakati itulah yang merupakan jasa yang
harus dilaksanakan. [6]
b.
Dasar Hukum Upah
Dasar-dasar hukum yang dapat dijadikan sebagai dalil atas kebolehan Upah-mengupah (ijarah), salah satunya tertera dalam al-Quran
surah al-Thalaq ayat 6:
فَاِنْ
اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَأَتُوْ هُنَّ اُجُوْرَهُنَّ.
(الطلا
ق: 6 )
”Jika mereka telah menyusukan (anak-anak)mu
untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya”. (Al-Thalaq: 6).
[7]
Selain itu, dalil lainnya dalam al-Quran juga terdapat
dalam surah al-Qashash ayat 26:
قَالَتْ
اِحْدَهُمَا يَاءَبَتِ اِسْتَأْجِرْةُ اِنْ خَيْرَمَنْ اِسْتَأُجِرْتَ الْقَوِيُّ
الْاَمِيْنُ...(القصص: 26).
“Salah seorang
dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. (Al-Qashash:
26). [8]
Adapun dalan
sunnah Rasulullah SAW, tertera dalam salah satu haditsnya bahwa beliau
bersabda:
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَلَ: قَلَ رَسُولُ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَيلَّمْ: اُعْطُواا لْاَجِيْرَاَجْرَهُ قَبْلَ اَن يَّجِفَ عَرَقُه...(رواه إبن
ماجه).
“Dari Ibnu Umar RA. Ia berkata "Rasullah Saw. Bersabda:” Berilah kepada
pekerja upahnya sebelum keringatnya kering”( HR. Ibnu Majah). [9]
c.
Rukun dan Syarat Ijarah
Menurut ulama hanafiyah, rukun ijarah
hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewa) dan qobul persetujuan terhadap sewa
menyewa. Akan tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa rukun ijarah itu ada empat, yaitu:
1)
Orang
yang berakad, yaitu
pemberi sewa dan orang yang menyewa
2)
Sewa/
imbalan
3)
Manfaat,
dan
4)
shighat
(ijab dan qobul), ulama hanafiayah
menyatakan bahwa orang yang berakat, sewa atau imbalan, dan manfaat, termasuk
syarat-syarat al-ijarah, bukan
rukunnya. [10]
Selain rukun-rukun yang harus dipeuhi dalam melakukan akad ijarah,
di sisi lain juga terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan
akad ijarah, adapun syarat ijarah di antaranya adalah:
1)
Syarat terjadinya akad
Untuk
melakukan akad ijarah ini, aqid
disyaratkan harus berakal, yakni orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz
tidak sah melakukan akad ini.
2)
Syarat pelaksanaan akad
Disyaratkan dalam
pelaksanaan ijarah yaitu kepemilikan
dan hak kuasa penuh atas barang yang disewakan. Oleh kara itu, ijarah al-fudhuli (ijarah
yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kuasa penuh atau mendapat ijin
dari pemilik barang tersebut) tidak dapat dilaksanakan.
3)
Syarat sahnya ijarah
Syarat sah ijarah adalahsebagai berikut:
1)
Kerelaan aqidain, yakni tidak sah melakukan
akad ijarah bagi orang yang dipaksa.
2)
Manfaat yang harus
tertentu dan diketahui bersama sehingga mencegah timbulnya perselisihan di
antara orang yang berakad.
Maka tidak sah jika seseorang menyewakan
salahsatu dari dua rumahnya tanpa menentukan yang manakah yang akan disewakan
dari dua rumah tersebut. Termasuk dalam
upah mengupah/sewa pekerja, pekerjaan juga harus ditentukan secara jelas.
3)
Barang/jasa yang
disewakan dapat dimanfaatkan, baik secara nyata maupun secara syar‟i. Maka tidak sah menyewakan sesuatu yang tidak
dapat dimanfaatkan secara nyata, seperti menyewakan rumah yang tidak dapat
ditempat.
4)
Manfaat yang diakad harus
diperbolehkan secara syar‟i, yakni tidak
sah mengupah seseorang untuk mimum khamr, diajak berzina, membunuh dan lain-lain.
5)
Pekerjaan yang
menjadi objek akad ijarah bukan
sesuatu yang memang wajib bagi pemberi jasa sebelum akad ijarah dilakukan, seperti mengerjakan salat fardhu, haji, puasa
Ramadhan dan lain sebagainya.
6)
Ajir tidak boleh
mengambil manfaat dari pekerjaannya.
7)
Manfaat harus
yangdimaksudkan dengan akad dan sesuai dengan fungsi ma’qud alaih. Maka tidak sah
menyewa pohon untuk dijadikan tempat jemuran atau tempat berteduh, karena itu
bukan merupakan fungsi dari pohon.
4)
Syarat manfaat
Ada beberapa syarat
dari manfaat ma’qud alaih yang harus
dipenuhi, yaitu:
1)
Dibolehkan, yakni sesuatu yang dilarang
tidak sah menjadi manfaat dalam akad ijarah.
2)
Menerima manfaat
melalui mu’awadlah.
3)
Manfaat harus bernilai.
4)
Dimiliki.
5)
Tidak mengharuskan
memberikan benda, seperti menyewa pohon untuk diambil buahnya.
6)
Dapat diserahkan.
7)
Harus benar-benar memberikan manfaat bagi musta’jir. Maka tidak sah mengupah seseorang untuk
melaksanakan salat fardhu bagi dirinya.
8)
Diketahui, yakni ada
kejelasan mengenai spesifikasi dan kadarnya.
5)
Syarat Ujrah
Syarat-syarat ujrah adalah
sebagai berikut:
1)
Ujrah harus berupa
harta yang berharga dan kadar nilainya diketahui.
2)
Ujrah tidak boleh
berupa manfaat yang sejenis dengan ma’qud
alaih, seperti menyewa tempat tinggal dengan ujrah tempat tinggal, menyewa
jasa dengan ujrah jasa dan menyewa kendaraan dengan ujrah kendaraan. [11]
d.
Jenis-jenis
Ijarah
Dalam ilmu ekonomi Islam, ijarah dalam segi objeknya terbagi keda
alam dua macam. Keduanya adalah sebagai
berikut:
1)
Ijarah
manfaat, yakni menjadikan manfaat dari suatu barang sebagai ma’qud alaih, seperti menyewakan sebuah
rumah untuk ditempati dan menyewakan kendaraan untuk dikendarai.
2)
Ijarah a’mal,
yakni menjadikan pekerjaan/jasa dari seseorang sebagai ma’qud alaih. Seperti
menyewa/mengupah seseorang untuk membangun sebuah bangunan, menjahit baju, atau
pekerjaan lainnya. [12]
Sedangkan dalam segi upahnya, maka jenis-jenis ijarah digolongkan menjadi dua, yakni:
1)
Upah (arjun) musamma, yaitu upah yang sudah disebutkan dalam perjanjian dan
dipersyaratkan ketika disebut harus disertai adanya kerelaan kedua belah pihak
dengan upah yang telah ditetapkan tersebut, tidak ada unsure pemaksaan.
2)
Upah (arjun) misl’, yaitu upah yang sepadan dengan kondisi pekerjaannya,
baik sepadan dengan jasa kerja maupun sepadan dengan pekerjaannya saja. [13]
2.
Penentuan
Upah
Rasulullah SAW memberikan contoh yang harus dijalankan kaum
muslimin setelahnya, yakni penentuan upah bagi para pegawai sebelum mereka
mulai menjalankan pekerjaannya. Rasulullah SAW bersabda:
وَعَنْ
سَعِيْدِ اَلْحُدْرِيُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اَنْ النَّبِى صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ قَلَ : (مَنِ
اِسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُسَمَّ لَهُ
أُجْرَتَه)...(رواه عبدالرزق).
“Diceritakan oleh Abi said al-khudri r,a dari Nabi Muhammad SAW
bersabda”barang siapa memperkerjakan seorang pekerja, maka harus disebutkan
upahnya’’. (H. R.
Abdurrazaq). [14]
Rasulullah memberikan petunjuk bahwa dengan memberikan informasi
gaji yang akan diterima, diharapkan akan memberikan dorongan semangat bagi
pekerja untuk memulai pekerjaan, dan memberikan ketenangan. Mereka akan menjalankan tugas pekerjaan sesuai
dengan kesepakatan kontrak kerja dengan majikan. [15]
Upah itu sendiri ditentukan
berdasarkan jenis pekerjaan, ini merupakan asas pemberian upah sebagaimana
ketentuan yang dinyatakan Allah dalam firmannya dalam surat al-Ahqaf
ayat 19, yang artinya sebagai berikut:
“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang
telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan)
pekerjaan-pekerjaan. Mereka tiada
dirugikan” (Q.S. Al-Ahqaf: 19). [16]
Kata derajat di atas menunjukkan tentang hasil atau kedudukan
yang akan diperoleh oleh manusia bahwa hal itu didasarkan pada hasil kinerja
mereka. Jika dikaitkan dengan transaksi ijarah dapat disimpulkan bahwa upah yang
diperoleh oleh seseorang akan berbeda dengan upah yang didapatkan oleh orang
lainnya sesuai dengan hasil kinerja yang mereka lakukan.
Untuk itu upah yang dibayarkan kepada masing-masing
pegawai bisa berbeda berdasarkan jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang
dipikulnya. Tanggungan nafkah keluarga juga bisa menentukan jumlah gaji yang
diterima pegawai. Bagi yang sudah
berkeluarga, gajinya 2 kali lebih besar dari pegawai yang masih lajang, karena
mereka harus menanggung nafkah orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, agar
mereka tetap bisa memenuhi kebutuhan dan hidup dengan layak.
Patokan besaran gaji yang paling mudah adalah dengan
menyesuaikan upah minimum regional (UMR) setempat. Jangan sampai kurang dari
itu karena anda mengalami resiko dengan hukum. Itu adalah patokan gaji paling
dasar dalam menentukan gaji. Kalau anda bisa menggaji lebih, itu bagus, tetapi
jangan sampai kurang. Akan tetapi, tidak juga disamaratakan bahwa semua karyawan harus
memiliki gaji yang sama. Seharusnya,
semakin berat tanggung jawabnya, semakin berat juga besaran gajinya. [17]
Dalam fikih ekonomi Umar RA. terdapat beberapa perbedaan
jumlah upah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sesuai kualitas pekerja;
dimana seyogiannya dibedakan antara para pekerja dipemerintahan dan pekerja
terhadap individu. [18]
Pada dasarnya hubungan kerja menurut islam merupakan
suatu kerja sama yang saling menguntungkan dalam rangka untuk meningkatkan
taraf hidup dan kesejahteraan bersama baik bagi pengusaha atau pekerja, oleh
karena itu tidak dibenarkan adanya pemaksaan untuk melakukan suatu pekerjaan
diluar ketentuan batas waktu kerja yang telah diatur pemerintah, namun jika
suatu perusahaan membutuhkan tenaga seorang pekerja diluar waktu yang telah
ditentukan maka berdasarkan hadis di atas pihak pengusaha harus membantu
pekerja tersebut dengan menambah upah yang biasanya mereka terima.
Berdasarkan ketentuan hadis di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pada hakikatnya persoalan upah bukan hanya persoalan yang berhubungan dengan
uang dan ketentuan melainkan lebih pada persoalan bagaimana kita memahami dan
menghargai sesama dan tolong menolong antara yang satu dengan yang lainnya.
[1] Fuad Riyadi, “Sistem
Dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam”, Iqtishadia, 1 (Maret, 2015),
hlm. 159.
[2] Abd Hadi, Dasar
Dasar Hukum Ekonomi Islam (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010),
hlm. 194.
[3] Sadono Sukirno, Mikroekonomi
Teori Pengantar (Jakarta: Raja Wali Pers, 2010), hlm. 351.
[4] Malayu S. P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta
:PT Bumi Aksara,2015), hlm. 118
[5]Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid iv
(Damaskus:
Dar al-Fikr, 1985), hlm. 731-733
[6] Taqyuddin An Nabhani,
Membangun Sistem Alternatif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2009),
hlm. 83.
[7] Departemen Agama ,Al-Qur’an
Dan Terjemahannya (Bandung: CV.
Penerbit J-Art, 2005), hlm. 560.
[8]Ibid, 389.
[9]Ibnu Majah, Sunan Ibnu
Majah,
dalam
Ensiklopedia Hadits 4 Sunan Ibnu Majah, ed. Muhammad Ghazali, et. Al.
(Jakarta: Almahira, 2013), hlm.
441.
[10] Abd Hadi, Dasar
Dasar Hukum Ekonomi Islam (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010),
hlm. 197-198.
[11]Firman
Setiawan, “Al-Ijarah Al-A’mal Al-Mustarakah Dalam
Perspektif Hukum Islam Studi Kasus Urunan
Buruh Tani Tembakau di Desa Totosan Kecamatan Batang-batang Kabupaten Sumenep
Madura)”, Dinar, 2 (Januari, 2015),
hlm. 112-115.
[12]Ibid,
hlm. 110.
[13]
http://rianamuslikhah. blogspot. co. id/2015/02/makalah-upah-dalam-islam?m=1
[14] Abu Bakar
Abdurrazzaq bin Humam al-Shan’ani, Musnaf
Abdul Razaq, (Beirut: Maktabah Islamy, 1403H), hlm. 141.
[15] Lukman Hakim, Prinsip-Prinsip
Ekonomi Islam (Surakarta: Pt. Gelora
Aksara Pratama, 2012), hlm. 202
[16] Departemen Agama ,Al-Qur’an
Dan Terjemahannya (Bandung: CV.
Penerbit J-Art, 2005), hlm. 505
[17] Andy Widjaya
Setiawan, Selamatkan Bisnis Anda Tumpas 101 Penyakit Bisnis (Jakarta:
Literindo, 2014), hlm. 74-75
[18] Jaribah Al-Hasani, Fikih
Ekonomi Umar Bin Al-Khothab (Jakarta: Pustaka Al-Kaustsar Grup), hlm 236.
0 Komentar