RANGKUMAN

PENGANTAR ILMU HUKUM

(Karya : C.S.T. Kansil)

 

 

PENDAHULUAN

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Taala yang senantiasa memberikan dua nikmat yang kebanyakan manusia lupa akan nikmat tersebut, yakni nikmat sehat dan nikmat sempat (waktu luang). Sebagaimana sabda Rasul-Nya:

[رَوَاهُ البُخَارِي] .وَالْفَرَغ الصِّحَّةُ ، لنَّاسِا مِنَ كَثِيْرٌ فِيْهِمَا مَغْبُوْنٌ نِعْمَتَانِ

“Dua nikmat yang kebanyakan manusia melalaikannya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang” (HR. Bukhori No. 6412).

Dengan2 nikmat sebagaimana disebutkan di atas, penulis dapat menyelesaikan penyederhanan pembahasan dari pada buku Pengantar Ilmu Hukum yang yang ditulis oleh Drs. C.S.T. Kansil, S.H.

            Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, yang kepadanya pula Allah Taala dan para malaikat-Nya senantiasa bersolawat. Dimana dengan berbagai pelajaran yang disampaikan oleh beliau, dapat dijadikan panutan oleh penulis untuk tetap semangat dalam menympaikan suatu ilmu.

            Selanutnya tulisan ini ditulis semata-mata untuk mendapatkan ridla Allah Taala, karena memang setiap amal perbuatan tidak diterima kecuali dalam diri kita terdapat keikhlasan akan perbuatan tersebut.

            Selain itu, tulisan ini kami tulis sebagai suatu bentuk sarana untuk saling memberi pengetahuan antara sesama, dengan asumsi bahwa ilmu yang bermanfaat merupakan suatu amalan yang pahalanya bersifat kontinu meskipun ruh tidak lagi melekat dalam jasad kita.

 

PEMBAHASAN

ARTI DAN TUJUAN HUKUM

Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam pandangan Aristoteles disebut dengan istilah zoon politicon, artinya bahwa manusia itu merupakan makhluk Tuhan yang diciptakan dengan suatu hasrat untuk selalu berkumpul antara yang satu dengan lainnya. Dimana dalam kehidupan nyata menjadi hal yang pasti bahwa manusia yang satu saling membutuhkan dengan manusia lainnya.

Oleh karena itu dalam kehidupan manusia ada istilah yang disebut masyarakat, yang notabene nya merupakan perkumpulan manusia yang timbul dari kondrat yang sama, yang menimbulkan banyak perhubungan di dalamnya. Dimana berdasarkan hubungannya, masyarakat terbagi ke dalam 2 macam: 1) masyarakat peguyuban, yakni masyarakat yang timbul akibat hubungan pribadi atau batin seperti rumah tangga, perkumpulan kematian, dll, 2) masyarakat petembayan, yakni msyarakat yang timbul karena tujuan keuntungan seperti firma, PT, CV dan lainnya.

Hubungan yang demikian kerapkali menyebabkan suatu perselisihan yang diakibatkan adanya perbedaan kepentingan antara manusia yang satu dengan lainnya. Sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan hukum sebagai tameng dari pada perselisihan yang dimaksud.

Hukum itu sendiri merupakan istilah yang sulit untuk didefinisikan, karena luasanya cakupan yang ada di dalamnya. Namun sebagai pegangan, hukum bisa diartikan sebagai kumpulan norma dan sanksinya terkait dengan tingah laku manusia dalam bermasyarakat yang dibentuk oleh pihak yang berwenang dalam suatu wilayah dan harus dipatuhi oleh masyarakt di dalamnya nya.

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ada beberapa unsur di dalam hukum itu sendiri, yaitu berupa peraturan mengenai tingkah laku manusia, dibentuk atau diadakan oleh pihak yang berwenang, bersifat memaksa (harus dipatuhi) dan memiliki sanksi atas pelanggaran di dalamnya.

Oleh karena itu ada 2 sifat khusus dari pada hukum itu sendiri, yakni bersifat memaksa dan mengatur. Dimana hukum dibentuk dengan tujuan umum untuk mengatur tingkah laku manusia agar tercipta keadilan (teori etis), kemanfaatan (teori) dan kepastian hukum.

 

SUMBER-SUMBER HUKUM

Sumber hukum merupakan segala sesuatu yang menimbulkan hukum. Dimana sumber hukum yang dimaksud (sumber hukum formil) diantaranya adalah sebagai berikut:

1)     Undang-Undang, yaitu sekumpulan peraturan yang dibentuk oleh pemerintah. Dimana dalam pemberlakuannya harus diundagkan dalam lembaran negara, yang notabene nya bila sudah dilakukan akan mengikat segala pihak di dalamnya meskipun pihak yang dimaksud tidak mengetahuinya (asas fictie).

2)     Kebiasaan, yaitu perbuatan manusia yang dilakukan secara berulang-ulang dalam hal yang sama, sehingga timbul esensi hukum di dalamnya seperti ada sanksi bila melakukan hal yang berlawanan dengannya.

3)     Keputusan Hakim (jurisprudensi), yakni keputusan hakim yang telah lalu dan dijadikan sebagai acuan atau dasar dalam memutus suatu perkara karena adanya persamaan permasalahan. Dimana hal ini menjadi salah satu sumber hukum didasarkan pada asas bahwa dalam lingkup pengadilan, hakim tidak diperkenankan menolak suatu perkara yang diaukan kepadanya hanya karena tidak jelas atau tidak diatur dalam suatu perundang-undangan.

4)     Traktat (treaty), yakni perjanjian yang dilakukan oleh 2 negara atau lebih Untuk traktat yang diadakan oleh 2 negara disebut traktat billateral, dan bila lebih dari 2 disebut traktat multilateral, serta ada juga istilah traktat terbuka/kolektif yang dikenal sebagai traktat yang sudah ada dan terbuka untuk negara yang belum termasuk di dalamnya.  Dimana traktat itu sendiri menjadi salah satu sumber hukum didasarkan pada asas vacta sund servanda, yang artinya perjanjian mengkat para pihak yang ada di dalamnya.

5)     Doktrin atau pendapat para sarjana,  yaitu pendapat daripakar hukum yang memiliki pengetahuan yang baik terbaik dengan permaslahan hukum itu sendiri. Hal ini sebagaimana dalam Piagam Mahkamah Internasional yang mengakui pendapat sarana hukum sebagai pedoman dalam memutus suatu perkara.

 

PENEMUAN HUKUM

Dalam penemuan hukum yang ditulis dalam buku ini dijelaskan bahwa hakim merupakan salah satu faktor pembentukan hukum, sebagaimana dijelaskan bahwa putusan hakim merupakan salah satu sumber hukum yang dapat dijadikan sbeagai dasar dalam memutus perkara yang sama.

Namun demikian keberadaanya, meskipun hakim memiliki kedudukan yang demikian dalam pembentukan hukum, hasil dari pada pembentukannya tidak dapat diberlakukan secara umum melainkan hanya berlaku untuk pihak-pihak yang bersangkutan saja, seperti para pihak yang sedang berperkara dan hakim mendasari putusannya dengan putusan hakim terdahulu.

Selanjutnya dalam memutus suatu perkara, seorang hakim juga diperkenankan untuk melakukan penafsiran (interpretasi) terhadap undang-undang yang berlaku agar tidak kaku dalam menjalankannya, yang notabene nya undang-undang itu sendiri hanya merupakan bentuk kepastian hukum saja. Dimana dalam pelaksanaannya, hakim juga harus mengingat adat-kebiasaan yang hidup dalam mesyarakat, jurisprudensi, ilmu pengetahuan dan aspek lainnya yang dapat menunjang putusan yang benar-benar mendekati keadilan.

Untuk penafsiran itu sendiri, ada banyak ragamnya, antara lain sebagai berikut:

1.      Penafsiran tata bahasa, yakni penafsiran terhadap undang-undang yang didasarkan pada arti kata atau bunyi ketentuan tertentu sesuai dengan tata bahasa atau kebiasaan dalam masyarakat.

2.      Penafsiran sahih (autentik/resmi), yakni penafsiran terhadap suatu ketentuan didasarkan pada apa yang menjadi maksud pembuat undang-undangan yang dimaksud.

3.      Penafsiran historis, yaitu penafsiran yang didasarkan pada sejarah terbentuknya undang-undang, yang notabene nya ada maksud tertentu pada saat dibentuknya undang-undang yang dimaksud.

4.      Penafsiran sistematis, yaitu penafsiran terhadap suatu ketentuan yang didasarkan pada ketentuan lainnya, baik dalam satu undang-undang atau lainnya.

5.      Penafsiran nasional, yaitu penafsiran terhadap suatu ketentuan yang didasarkan pada sistem hukum yang berlaku dalam suatu daerah ketentuan yang dimaksud.

6.      Penafsiran teleologis, yaitu penafsiran terhadap suatu ketentuan yang didasarkan pada tujuan diadakannya ketentuan yang dimaksud. Dimana dalam kehidupan manusia selalu mengalami perubahan, sedangkan peraturan tetap tidak ada perubahan.

7.      Penafsiran ekstentip, yaitu penafsiran terahdap suatu ketentuan dengan melakukan perluasan arti dari kata-kata di dalamnya, sehingga bisa memasukkan hal lain dalam ketentuan yang dimaksud, seperti aliran listrik termasuk suka benda.

8.      Penafsiran restriktif, yaitu penafsiran terhadap suatu ketentuan dengan mempersempit arti kata-kata dalam ketentuan yang dimaksud, misalnya kerugian misalnya tidak memasukkan kerugian yang tidak berwujud seperti sakit dalan lainnya.

9.      Penafsiran analogis, yaitu penafsiran dengan memberi ibarat atau kiyas pada kata-kata dalam suatu peraturan tertentu, sehingga dapat memasukkan suatu perkara terhadap peraturan yang dimaksud, seperti kata menyambung diartikan sebagai mengambil dalam hal aliran listrik.

10.  Penafsiran a contrario, yaitu penafisiran yang didasarkan pada perlawanan dari pada ketentuan tertentu yang notabene nya permasalahan yang dihadapi tidak ada peraturannya, seperti ketentuan yang ditujukan khusus bagi wanita, maka secara a contrario tidak diperkenankan pada laki-laki bila tidak ada peraturannya.

Dari beberapa macam penafsiran terhadap suatu peraturan yang bisa dilakukan oleh seorang hakim untuk memutus suatu perkara yang seadil-adilnya, hakim juga memiliki wewenang untuk mengisi kekosongan hukum dalam memutus suatu perkara.

Sebagaimana kita ketahui bahwa kehidupan manusia berifat dinamis yang senantiasa mengalami perubahan yang cepat, sedangkan hukum bersifat statis dan sukar mengalami perubahan. Sehingga seringkali antara peraturan dan kehidupan nyata terdapat ketidaksesuaian antara keduaya dan bahkan menyebabkan adanya kekosongan hukum itu sendiri.

 

PEMBIDANGAN ILMU PENGETAHUAN HUKUM

Dalam sub bab ini, C.S. T. Kansil menerangkan terkait dengan macam-macam hukum yang didasarkan pada kriteria tertentu. Berdasarkan sumbernya, hukum terbagi ke dalam hukum undang-undang, hukum kebiasaan, hukum traktat dan hukum jurisprudensi. Dimana pembagian ini, didasarkan pada tempat atau darimana hukum itu berasal, yang notabene nya dalam suatu wilayah bergantung pada sistem hukum masing dalam memperlakukan sumber mana yang paling diutamakan dalam pelakasanaannya.

Oleh karena itu dalam dapat dipastikan bahwa pada dasarnya tergantung pada wilayah mana kita mengkaji hukum itu sendiri. Namun jika didasarkan pada wilayah berlakunya, hukum dapat dibedakan ke dalam hukum nasional yang berlaku di dalam suatu negara, hukum internasional yang berlaku antar negara, hukum asing yang berlaku diluar negara dan hukum gereja yang khusus berlaku dan ditetapkan oleh gereja untuk para anggotanya.

Untuk hukum yang berlaku dalam suatu daerah tertentu, perlu diketahui bahwa kategori tersebut dapat disederhanakan lagi ke dalam beberapa macam, yaitu: 1) ius constitutum, yaitu hukum yang sedang berlaku sekarang dalam suatu wilayah tertentu, 2) ius konstituendum, yakni hukum yang diharapkan  berlaku di masa yang akan datang, dan 3) hukum alam atau asasi, yaitu hukum yang berlaku di mana-mana dan dalam waktu yang abadi. Dimana dari ketiga jenis hukum ini, dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya ada hukum yang sudah berlaku dan ada pula hukum yang masih direncanakan untuk berlaku dalam suatu daerah tertentu.

Selanjutnya untuk hukum yang diberlakukan dalam suatu daerah pada dasarnya menurut sifatnya dapat dibedakan ke dalam 2 jenis, yaitu hukum yang bersifat memaksa atau hukum yang dalam keadaan apapun harus diikuti dan hukum yang bersifat mengatur atau hukum yang keberadaannya hanya untuk pelengkap yang notabene nya bisa dikesampingkan dengan adanya peraturan yang dibuat oleh para pihak dalam perjanjian.

Selain itu untuk hukum yang diberlakukan dalam suatu negara pada dasarnya dapat dikategorikan lagi ke dalam 2 macam kategori, yaitu: 1) hukum material atau hukum yang isinya mengatur terkait dengan materi aturanya, dan 2) hukum formal, yaitu hukum yang isisnya mengatur tentang bagaimana caranya mempertahanan hukum material itu sendiri.

Selanjutnya dari semua jenis hukum yang dijelaskan di atas, pada dasarnya untuk hukum yang berlaku dalam suatu daerah juga dapat dikategorikan ke dalam hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis merupakan hukum yang diundang-undangan, yang notabene nya ada yang dikodifikasi dan ada pula yang tidak dikodifikasi. Sedangkan hukum tidak tertulis merupakan hukum yang tidak diundangkan tetapi hidup dalam masyarakat atau dikenal dengan hukum kebiasaan.

Untuk hukum yang tertulis, dibagi lagi ke dalam hukum yang dikondifikasi dan tidak dikodifikasi. Dimana kodifikasi itu merupakan pembukuan jenis-jenis hukum ke dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap, yang tujuannya untuk memperoleh kepastian, penyederhanaan dan kesatuan hukum. Lebih mudahnya untuk mengetahui apakah suatu hukum itu dikodifikasi atau tidak adalah dengan mengenali penyebutan dari pada hukum itu sendiri, yang notabene nya bila diikutkan dengan kata kitab undang-undang, maka ia merupakan undang-undang yang sudah dikodifikasi, seperti hukum perdata Indonesia yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, KUHP, KUHD, dll.

Dari penjelasan kodifikasi hukum di atas dapat dipahami bahwa hukum dikodifikasi berdasarkan jenis-jenisnya. Sebagaimana kita ketahui dalam kehidupan manusia ada banyak hal yang perlu diatur sebagai bentuk kepastian hukum, yang notabene nya secara umum berdasarkan isinya dapat dibedakan ke dalam hukum privat dan hukum publik. Dimana hukum privat merupakan hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antara individu dengan individu atau terkait dengan kepentingan perorangandan/atau badan hukum, sedangkan hukum publik merupakan hukum yang mengatur hubungan hukum antara perorangan dengan negara atau antar negara melalui alat-alatnya (stuktur).

Kemudian untuk lebih  memperjelas mengenai hukum privat (sipil) dan hukum publik, perlu diketahui bahwa dalam tatanan hukum yang ada, hukum privat dalam arti luas terdiri dari hukum perdata dan hukum dagang, sedangkan dalam arti sempit hanya terdiri dari hukum perdata saja. Adapun hukum publik, terdiri dari beberapa macam hukum di dalamnya, yaitu: 1) hukum tata negara, yang mengatur bentuk dan susunan pemerintahan serta hubungan hukum antara susunannya, 2) hukum administrasi, yang mengatur cara menjalankan tugas setiap alat-alat negara, 3) hukum pidana, yang mengatur pemidanaan, baik larangan, pihak atau perkara pidana, dan 4) hukum internasional, yang terdiri dari hukum perdata (hub. perorangan beda negara) dan hukum publik (hub. antar negara) internasional.

Dari beberapa bidang hukum yang teramsuk dalam hukum privat maupun hukum publik sebagaimana dijelaskan di atas, penting untuk kita jelaskan lebih lanjut terkait dengan hukum perdata dan hukum pidana. Hal ini dikarenakan 2 hukum ini merupakan hal yang paling sering dibahas dalam pembelajaran hukum di berbagai universitas di Indonesia. Dari kedua hukum ini ada beberapa aspek perbedaan yang bisa kita temukan di dalamnya, yaitu: 1) hukum perdata mengatur hubungan hukum antara individu dengan individu lainnya yang menitikberatkan kepentingan individu yang dimaksud, sedangkan hukum pidana mengatur hubungan antara individu sebagai negara dengan negara melalui para alat-alatnya, 2) hukum perdata diperiksa oleh pengadilan bila diajukan oleh pihak yang berpentingan atau merasa dirugikan, sedangkan hukum pidana diajukan aparat negara seperti polisi, jaksa dll (pengecualian : pidana perzinahan, perkosaan, pencurian antar keluarga harus ada yg melapor dari yang merasa dirugikan), dan 3) hukum perdata bisa ditafsirkan dengan berbagai macam penafsrian sebagaimana dielaskan sebelumnya, sedangkan hukum pidana hanya bisa ditafsirkan dengan penafsiran authentik.

Tiga aspek perbedaan mengenai hukum perdata dan hukum publik sebagaimana dijelaskan di atas, dapat disempulkan bahwa perbedaan di atas lebih kepada bagaimana menggunakannya atau dikenal dalam hukum sebagai hukum acara, yaitu bagaimana seseorang beracara dalam pengadilan, sebagaimana perbedaan 2 dan 3 lebih kepada bagaimana seharusnya kedua hukum tersebut diterapkan dalam beracara di muka pengadilan.

Oleh karena itu selain dari pada hukum material, dikenal juga hukum formal yang dalam kenyataannya lebih dikenal dengan hukum acara. Dimana untuk hukum perdata dikenal dengan hukum acara perdata, dan untuk hukum pidana dikenal dengan hukum acara pidana.

Untuk kedua hukum acara sebagaimana disebutkan di atas, pada dasarnya dalam pelaksanaannya ada beberapa perbedaan yang penting untuk diketahui oleh kita. Perbedaan tersebut di antaranya adalah:

1.      Perihal hakim yang mengadili, bahwa dalam hukum acara perdata diadili oleh hakim perdata dan dalam hukum acara pidana diadili oleh hakim pidana;

2.      Perihal inisiatip pelaksanaan perkara dan pihak yang berperkara, bahwa dalam hukum acara perdata datangnya dari pihak yang berkepentingan dan dalam pelaksanaannya para pihak saling berhadapan langsung satu sama lain atau dengan walinya (pengacara), sedangkan dalam hukum acara pidana datangnya dari alat-alat negara (jaksa/penuntut umum) dan yang berperkara adalah jaksa itu sendiri dengan pihak pelanggar hukum pidana;

3.      Perihal alat bukti, bahwa dalam hukum perdata yang sah dijadikan sebagai alat bukti adalah bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah, sedangkan dalam hukum acara pidana bukti sumpah tidak diperkenankan;

4.      Perihal penarikan kembali perkara, bahwa dalam hukum acara perdata masih bisa ditarik kembali selama belum diputus oleh hakim, sedangkan dalam perkara pidana tidak dapat ditarik kembali;

5.      Perihal kedudukan pada pihak, bahwa dalam acara perdata para pihak kedudukannya sama dan hakim bersifat pasif, sedangkan dalam acara pidana kedudukan jadsa lebih tinggi dari pada piak terdakwah dan hakim di dalamnya bersifat aktif;

6.      Perihal putusan hakim, bahwa dalam acara perdata putusan hakim cukup hanya didasarkan pada kebenaran formal seperti bukti surat atau lainnya, sedangkan dalam acara pidana hakim harus benar-benar menggunakan aspek lainnya seperti keyakinan, perasaan keadilan, dan lainnya;

7.      Perihal macam hukuman, bahwa dalam acara perdata hukumannya dapat berupa denda atau kurungan sebagai gantinya, sedangkan dalam acara pidana dapat berupa pidana mati, penjara, kurungan atau denda,dan berbagai pidana tambahan lainnya; dan

8.      Perihal istilah perkara banding, bahwa dalam acara perdata disebut Appel dan dalam acara pidana disebut revisi.

Selanjutnya dalam bab ini, C.S.T. Kansil juga membahas tentang hukum perselisihan, yaitu kaidah hukum yang menentukan hukum mana dan hukum apakah yang berlaku jika dalam suatu perkara melibatkan lebih dari sistem hukum. Hukum perselisihan itu sendiri memilikibanyak bentuk, yang diantaranya adalah sebagai berikut:

1.      Hukum antar golongan (intergentil), yaitu hukum perselisihan terkait perbedaan hukum yang disebabkan adanya berbeda golongan;

2.      Hukum antar tempat, yaitu hukum perselisihan terkait perbedaan hukum yang disebabkan adanya perbedaan tempat;

3.      Hukum antar bagian, yaitu hukum perselisihan terkait perbedaan hukum yang disebabkan adanya bagian wilayah dalam suatu negara;

4.      Hukum antar agama, yaitu hukum perselisihan terkait perbedaan hukum yang disebabkan adanya perbedaan agama; dan

5.      Hukum antar waktu, yaitu hukum perselisihan terkait perbedaan hukum yang disebabkan adanya perbedaan waktu berlakunya suatu peraturan.

Dari beberapa macam hukum perselisihan di atas, pada dasarnya di indonesia hanya berlaku untuk perkara perdata semata. Hal ini dikarenakan untuk perkara pidana, sudah diberlakukan secara umum bagi seluruh golongan penduduk Indonesia itu sendiri. Kemudian bila perbedaan hukum itu sendiri disebabkan adanya perbedaan negara yang mana para pihak  yang berperakara tunduk pada hukum nasionalnya masing masing, maka hukum yang digunakan adalah hukum perdata internasional.

 

ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KAIDAH HUKUM

Kaidah merupakan kumpulan peraturan tentang tingkah laku manusia sebagai petunjuk tentang apa yang harus dan boleh dilakukan dan apa tidak diperkenankan untuk dilakukan. Sebagaimana kita tahu bahwa manusia dalam bermasyarakat selalu ada hubungan antara yang satu dengan lainnya, yang mana bila tidak ada norma atau kaidah di dalamnya dapat memungkinkan adanya pertikaian antara sesama yang salah satunya dikarenakan sifat individualistis atau egois manusia itu sendiri.

Oleh karena itu keberadaan kaidah atau dalam istilah lain dikenal sebagai norma (selanjutnya akan digunakan sebagai istilah tetap dalam pembahasan ini) merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia, yang notabene nya menurut isinya terdiri dari 2 unsur, yaitu perintah dan larangan. Dimana dalam kehidupan nyata, norma itu sendiri ada banyak ragamnya dan dalam pelaksanaannya bisa dipertahankan dengan adanya sanksi di dalamnya. Ragam yang dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut:

1.      Norma agama, yaitu peraturan hidup manusia yang terdiri ibadah, muamalah dan perkara lainnya yang berasal dari Tuhan, yang notabene nya hal ini didasarkan pada keyakinan agama masing-masing, seperti larangan riba dalam Islam, dll;

2.      Norma kesusilaan, yaitu peraturan hidup yang timbul dari suatu hati sanubari manusia, yang memberikan pemahaman tentang mana yang baik atau buruk untuk dilakukan, seperti berbuat baik kepada sesama, dll;

3.      Norma kesopanan, yaitu peraturan hidup manusia yang lahir dari adanya pergaulan antara sesama, seperti orang yang muda harus menghormati orang yang lebih tua, dll; dan

4.      Norma hukum, yaitu peraturan yang timbul dari adanya peraturan yang dibuat oleh penguasa atau pemerintah dalam suatu wilayah tertentu dan disepakati sebagai pedoman dalam mengatur tingkah laku manusia yang terdapat suatu sanksi bila melanggarnya.

Dari beberapa macam norma di atas, berdasarkan tempat berlakunya dapat dikategorikan ke dalam 2 macam kategori, yaitu norma umum dan norma khusus. Untuk 2 norma pertama merupakan bagian dari pada norma yang berlaku umum, yang artinya norma yanga da bersifat umum, universal atau mendunia tanpa ada perbedaan golongan atau lainnya. Sedangkan 2 norma lainnya merupakan bagian dari pada norma khusus yang notabene nya berlakunya didasarkan pada golongan dan wilayah tertentu.

Selain itu penting untuk diketahui bahwa keberadaan kaidah hukum merupakan pelengkap dari pada norma lainnya, yang notabene nya tidak semua lini kehidupan manusia di atur pada ketiga norma pertama seperti adanya peraturan kalau berkendara diharuskan melalui jalur kanan bilamana hendak menyalip pengendara lainnya.

Oleh karena itu keberadaan kaidah hukum merupakan hal yang sangat penting adanya demi mencapai tujuan hukum sebagai pengatur tingkah laku manusia yang diantaranya adalah kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Dimana keberadaannya merupakan kajian yang penting dari zaman ke zaman yang dijadikan sebagai suatu ilmu dan dikenal dengan ilmu hukum. Hal ini lah yang menjadi alasan bahwa ilmu hukum merupakan bagian dari pada kaidah hukum, sebagaimana menjadi judul atau tema bab ini.

 

ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN HUKUM

Dalam bab ini C.S.T Kansil mengutip penjelasan yang dikemukakan oleh Prof. Kusumadi Pudjosewojo, S.H. yang mengatakan bahwa hukum dipelajari dari berbagai sudut seperti hukum positif, sejarah hukum, sosiologi hukum, filsafat hukum, perbadingan hukum dan lainnya yang menjadikan hukum itu sendiri sebagai ilmu pengetahuan hukum. Dimana termasuk dalam hal ini tentang pengertian hukum yang disebutnya sebagai ilmu pengertian hukum.

Dalam ilmu pengertian hukum perlu juga diketahui beberapa istilah di dalamnya, yang diantaranya adalah masyarakat hukum, subjek hukum, objek hukum, peristiwa hukum dan lainnya. Dimana untuk istilah masyarakat hukum dapat diartikan sebagai sekumpulan orang yang hidup bersama dalam wilayah yang sama dan di dalamnya ada suatu aturan atau hukum yang dijadikan sebagai pedoman hidup di dalamnya.

Sedangkan subjek hukum adalah pihak yang memiliki hak dan kewajiban yang terdiri dari orang (person) dan badan hukum (recht person). Dimana untuk hak itu merupakan hal yang melekat dengan seseorang mulai ia lahir hingga meninggal dunia dan bahkan bayi yang belumlahir dalam kandungan juga memiliki hak (dianggap lahir) jika kepentingannya memerlukannya, seperti mendapat warisan.

Kemudian subjek hukum itu sendiri juga bisa diartikan sebagai pihak yang dapat melakukan perbuatan hukum tanpa ada perbedaan golongan atau lainnya. Namun demikian dalam ketentuannya, ada subjek yang belum bisa diperkenankan untuk melakukan perbuatan hukum karena ia dianggap tidak cakap atau kurang cakap, dan untuk keperluannya dapat diwakilkan pada orang lain. Dimana diantara subjek hukum yang dinyatakan sebagai pihak yang belum cakap menurut hukum adalah orang yang belum dewasa (-21 tahun atau belum menikah) dan orang yang tidak sehat pikirannya.

Sedangkan untuk badan hukum, dalam ilmu hukum dipersamakan dengan orang yang juga dapat melakukan suatu perbuatan hukum melalui stuktur yang ada di dalamnya. Dimana dalam pelaksanaannya ada beberapa bentuk badan hukum itu sendiri, yaitu badan hukum publik seperti negara dan badan pemenrintahan di bawahnya dan badan hukum perdata seperti PT, CV, Koperasi, Gereja dan lain sebagainya.

Dalam melakukan perbuatan hukum, terdapat suatu hal tertentu yang dijadikan tujuan dari pada perbuatan itu sendiri, yang dalam hukum dikenal dengan istilah objek hukum, yaitu segala sesuatu yang berguna dan dapat menjadi objek dalam perhubungan hukum, yang dalam istilah KUH Perdata dikenal dengan benda. Dimana di dalamnya benda diartikan sebagai segala sesuatu dan hak yang dapat dimiliki oleh seseorang atau dapat dikuasai dengan hak milik.

Selanjutnya perbuatan hukum itu sendiri dapat diartikan sebagai segala perbuatan yang menimbulkan hak dan kewajiban atau segala perbuatan yang mengandung hukum di dalamnya. Dimana perbuatan yang dimaksud terbagi ke dalam 2 kategori, yaitu: 1) perbuatan hukum sepihak yang notabene nya dilakukan oleh satu pihak dan menimbulkan hak dan kewajiban, seperti wasiat dan pemberian hadiah, dan 2) perbuatan hukum dua pihak yang notabene nya dilakukan oleh dua pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak itu sendiri (bberlaku timbal balik), seperti jual beli, sewa menyewa daln lain sebagainya.

Timbulnya hak dan kewajiban merupakan hal yang timbul dari adanya suatu perbuatan hukum, yang notabene nya hak merupakan hal yang paling diagungkan oleh setiap orang dari pada kewajiban. Hal ini dikarenakan kebanyakan manusia hidup dengan ketamakan yang menjadikannya lebih cenderung menuntut hak dari pada memenuhi kewajibannya.

Hak itu sedniri dalam ilmu hukum diartikan sebagai kebebasan atau kekuasaan atas suatu hal tertentu yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum. Dimana dalam ketentuannya, hak dibedakan ke dalam 2 macam, yaitu hak mutlak dan hak nisbi. Hak mutlak merupakan hak yang dapat dipertahankan terhadap siapapun dan harus dihormati oleh pihak lainnya, seperti HAM, Hak publik mutlak (spt: hak negara memungut pajak), hak keperdaataan (misal: suami menguasai istri). Sedangkan hak nisbi merupakan hak yang diberikan hukum kepada subjek hukum untuk menuntut kewajiban dari pihak lainnya atau lebih sederhananya dapat diartikan sebagi hak yang timbul dari suatu perjanjian.

Selain itu setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum menyebabkan adanya suatu peristiwa tertentu yang juga disebut dengan peristiwa hukum, yang notabene nya peristiwa yang menimbulkan akibat-akibat hukum. Dimana dalam hukum dikenal ada 2 macam peristiwa hukum, yaitu perbuatan subjek hukum dan peristiwa lain diluar dari perbuatan hukum.

Perbuatan subjek hukum itu sendiri merupakan perbuatan seseorang yang oleh hukum diberikan suatu akibat hukum atas apa yang dilakukannya. Dimana untuk dikatakan sebagai perbuatan hukum, perbuatan itu harus dilakukan dengan kehendak dari pada subjek yang notabene nya ia sadar akan adanya akibat yang diberikan oleh hukum atas perbuata tersebut.