![]() |
PENGERTIAN
FIQH MUAMALAH
(Fiqih Muamalah
Bag. 1)
Oleh :
Mohammad Suyudi
Alhamdulillah, wa ash-sholatu wa as-salamu ala Rasulillah, wa ba'du.
Fiqh muamalah merupakan suatu istilah yang terangkai dari dua
istilah yang pada dasarnya memiliki
makna tersendiri antara istilah yang satu dengan lainnya, yaitu istilah fiqih
dan mumalah.[1] Istilah
fiqih itu sendiri, secara bahasa berasal dali kata “ faqaha, yafqahu, faqhan”, yang memiliki arti memahami atau
pemahaman mendalam yang dapat menangkap tentang assal, tujuan ucapan dan
perbuatan.[2]
Pengertian fiqih secara bahasa sebagaimana dijelaskan di atas,
dapat kita lihat dalam banyak dalil dalam al-Quran maupun dalam hadits. Salah
satunya sebagaimana dalam surat al-Nisa’ ayat 78 berikut:
فَمَالِ هٰٓؤُلَاۤءِ الْقَوْمِ لَا
يَكَادُوْنَ يَفْقَهُوْنَ حَدِيْثًا.
“...Maka
mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan (sedikit pun)?”. (QS. al-Nisa’ : 78).[3]
Selain
itu, dalam sebuah hadits juga disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam bersabda sebagai berikut:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ
“...Barang
siapa yang Allah kehendaki kebaikan, maka ia akan diberikan pemahaman yang
mendalam tentang perkara agama”. (HR. Bukhori dan Muslim).
Dari dua dalil
di atas dapat kita pahami bahwa secara bahasa istilah fiqh memiliki arti
pemahaman atau pemahaman medalam tentang suatu hal tertentu.
Selanjutnya secara istilah (terminologi), istilah fiqh merupakan
istilah yang banyak memiliki arti yang dikemukan oleh berbagai ulama. Namun
pengertian yang populer dalam kalangan pengkajinya, adalah istilah yang
dikemukakan oleh Imam al-Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Sapiudin Shidiq dalam
bukunya yang berjudul Ushul Fiqh, yaitu
sebagai berikut:
الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيلِيَّةِ
“Ilmu tentang hukum-hukum
syar’i yang bersifat amaliyyah yang digali dari dalil-dalilnya yang
terperinci”.[4]
Dari
pengertian fiqih di atas, terdapat beberapa istilah yang penting untuk
dijabarkan lebih lanjut penjelasannya agar kita semua dapat memahi dengan rinci
pula apa arti fiqih itu sendiri. Istilah-istilah yang dimaksud diantaranya
adalah sebagai berikut:
1.
Ilmu (al-ilmu)
Ilmu merupakan segala
bentuk pengetahuan, baik yang mencapai tahap keyakinan maupun yang hanya
sebatas dugaan kuat. Dimana dalam kenyataannya suatu ilmu terkadang
didapatkan melalui kesimpulan-kesimpulan dalil yang kuat (qath’i) dan dari dalil sangkaan semata (dzonni).[5]
2.
Hukum Syar’i (al-ahkam al-syar’iyyah)
Hukum adalah segala ketentuan yang berlaku atas ketetapan Allah Taala.[6]
Wahbah
Az-Zuhaili dalam pandangannya yang dikutip oleh Nofiardi dalam jurnalnya
dinyatakan bahwa hukum syar’i adalah khithab[7]
Allah Taala yang berupa tuntutan (iqtida’),
pilihan untuk melakukan atau meninggalkan (takhyir)
dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam bentuk penetapan satu hubungan antara
satu faktor dengan faktor lain ( (dalam bentuk wadh’i) terkait dengan perbuatan mukallaf (cakap hukum).[8]
Dari
pengertian hukum syar’i di atas, dapat kita lihat bahwa setidaknya ada 3 elemen
dalam arti hukum itu sendiri, yaitu tuntutan (iqtida’), pilihan mengerjakan atau meninggalkan sesuatu (takhyir) dan ketentuan lain yang berupa wadh’i. Dari ketiga elemen tersebut pada
dasarnya dapat disederhanakan ke dalam 2 kategori, sebagaimana hal ini oleh
kalangan ulama dijadikan sebagai dasar dalam memilah atau membagi hukum, yaitu
hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum
taklifi atau dalam istilah lain dikenal dengan sebutan al-ahkam al-khamsah merupakan hukum yang terdiri dari tuntutan (iqtida’), anjuran dan/atau pilihan (takhyir).[9]
Dalam hal tuntutan, hukum yang ada di dalamnya diantaranya adalah hukum wajib
yang berisi tuntutan untuk melakukan sesuatu dan haram yang berisi tentang
tuntutan untuk meninggalkan sesuatu. Adapun dalam hal anjuran, terdapat hukum
sunah yang menganjurkan untuk melakukan sesuatu dan makruh yang menganjurkan
untuk meninggalkan sesuatu. Sedangkan dalam hal pilihan, di dalamnya terdapat
hukum mubah yang dapat dipilih oleh manusia untuk melakukan atau meninggalkan
sesuatu. Oleh karena itu, ke lima jenis sesuai kategori sebagaimana hal
tersebut yang dijadikan alasan penyebutan istilah hukum taklifi sebagai hukum
yang lima (al-ahkam al-khamsah).[10]
Selanjutnya
hukum wadh’i merupakan hukum yang memiliki arti bahwa bahwa terjadinya sesuatu
merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu hukum. Oleh karena
itu dari pengertian tersebut, hukum wadh’i memiliki 3 jenis, yaitu sebab, syarat dan penghalang.
Hukum wadh’i
yang berupa sebab merupakan segala sesuatu yang menyebabkan adanya hukum,
seperti tenggelamnya sinar matahari menyebabkan adanya hukum wajib sholat
magrib, adanya pencurian menyebabkan adanya hukuman potong tangan, dan lain
sebagainya.
Adapun hukum
wadh’i yang berbentuk syarat adalah segala sesuatu yang menjadi syarat adanya
hukum, yang pada dasarnya suatu perbuatan itu tidak bisa dikatakan hukum tanpa
memenuhi syarat yang dimaksud. Dalam arti lain sebenarnya hukum jenis ini bisa
dikatakan sebagai sesuatu yang menjadi syarat-syarat dalam menjalan suatu
perbuatan hukum, seperti berwudlu merupakan syarat sah nya untuk melakukan
hukum wajibnya sholat, adanya wali merupakan syarat sahnya untuk melakukan
pernikahan dan lain sebagainya.
Sedangkan
hukum wadh’i yang berbentuk penghalang (mani’)
merupakan segala sesuatu yang menjadi penghalang atas terlaksananya suatu
hukum, seperti kentut merupakan penghalang bagi manusia dalam melakukan sholat,
yang artinya manusia tidak dikatakan melakukan kewajiban sholat jika dalam
pelaksanaannya ia kentut.[11]
Dari
beberapa macam hukum wadh’i sebagaimana dijelaskan di atas, pada dasarnya dapat
disederhanakan bahwa pada dasarnya hukum wadh’i merupan dasar dari pada penilaian
dalam melakukan suatu perbuatan hukum, yang mana nilai yang dimaksud diantaranya
adalah nilai sah, batal dan fasid (rusak).[12]
3. Perbuatan (al-amaliyah)
Perbuatan
dalam definisi fiqh merupakan segala perbuatan dan tingkah laku mukallaf (orang
yang sudah dewasa yang dapat dibebankan kewajiban menjalankan hukum), baik
perbuata itu berupa perbuatan yang bersifat lahiriyah seperti membaca, memakan
dan lain sebagainya maupun yang bersifat bathiniyah seperti niat dalam hati dan
sebagainya.[13]
4. Dalil yang terperinci (al-adillatiha
al-tafshiliyyah)
Dalil yang
terperinci merupakan segala dalil yang bersumber dari sumber-sumber hukum yang
disepakati sebagai bukti yang kuat dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam
menentukan suatu hukum. Dimana sumber-sumber hukum yang dimaksud di antaranya
adalah al-Quran
dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam, yang notabene nya keduanya merupakan sumber utama yang
dilengkapi dengan metode penemuan hukum berupa ijma’ dan qiyas.[14]
Dari
beberapa penjelasan mengenai fiqih sebagaimana dijelaskan di atas, dapat
dismpulkan bahwa fiqih merupakan segala pengetahuan yang mempelajari tentang
hukum-hukum yang ditentukan oleh syariat (Islam) terkait dengan segala
perbuatan dan tingkah laku manusia didasarkan pada dalil-dalil dari sumber
hukum yang disepakati.
Selanjutnya
mengenai arti muamalah, secara
bahasa berasal dari kata “amala, yuamilu, muamalatan”, yang artinya
adalah saling
bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan.[15]
Sedangkan secara istilah (terminologi), arti muamalah dapat dibedakan ke dalam
arti luas dan arti sempit. Adapaun penjelasan secara rinci adalah sebagai
berikut:
1.
Muamalah dalam arti luas
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh
para ulama mengenai pengertian muamalah dalam arti luas, namun dalam pandangan
penulis dapat disederhanakan bahwa pada dasarnya muamalah dalam arti luas
merupakan sekumpulan peraturan yang dibentuk oleh Allah Taala untuk mengatur
hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya dalam mencapai keuntungan yang
bersifat duniawi dan diharapkan menjadi sebab suksesnya kehidupan akhirat.[16]
2.
Muamalah dalam arti sempit
Adapun arti mumalah dalam arti sempit, terdapat
bayak pula para ulama yang memberikan kontribusi pemikirannya. Salah satunya
dinyatakan oleh Hudarui Beyk, yang menyatakan bahwa mumalah merupakan segala
akad yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam pertukaran manfaat antara manusia
yang satu dengan lainnya. Sedangkan dalam pandangan Idris Ahmad dijelaskan
bahwa mumalah dalam arti sempit adalah sekumpulan aturan mengenai hubungan
manusia yang satu dengan lainnya dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya
dengan cara yang paling baik.[17]
Dari
beberapa pengertian tentang
muamalah sebagaimana dijelaskan di atas, dapat disederhanakan bahwa pada
dasarnya mumalah merupakan sekumpulan aturan yang mengatur hubunga manusia yang
satu dengan lainnya dalam bentuk akad yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk
memenuhi segala kebutuhan hidup.
Selain
itu, pengertian dari pada istilah mumalah dalam arti sempit maupun dalam arti
luas sebagaimana dijelaskan di atas, pada dasarnya merupakan penjelasan para
ulama dalam mendefinisikan fiqih mumalah itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat
dalam jurnal yang ditulis oleh Miftahul
Ulum dalam jurnalnya yang menyatakan hal yang sma dalam menguraikan definisi
dari pada fiqih mumalah itu sendiri.[18]
Oleh
karena itu dari bberapa penjelasan yang telah diurai dari awal terkait dengan istilah
fiqh dan mumalah, maka penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa pada
dasarnya fiqh muamalah merupakan ilmu pengetahuan terkait dengan hukum syar’i yang
mengatur prilaku manusia dalam menjalin hubungan antara satu dengan lainnya terkait
dengan harta benda dalam memenuhi segala kebutuhan hidup nya.
[1] Zainil Ghulam, Relasi Fiqh Muamalat Dengan
Ekonomi Islam, Iqtishoduna Vol. 8 No. 2, (Oktober, 2016), hlm. 131.
[2] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta:
Kencana, 2011), hlm. 4.
[3] Departemen Agama,
al-Quran Perkata dan Tajwid Warna
Rabbani, (Jakarta: PT. Surya Prisma Sinergi, 2012), hlm. 91.
[4] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, hlm. 5.
[5] Nofiardi, Hukum Syara’ dan Fiqih Menurut Wahbah Al-Zuhaili, Al-Hurriyah, Vol. 12, No. 1, (Januari-Juni 2011), hlm. 61.
[6] Sri Sudiarta, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Medan:
FEBI UIN-SU Press, 2018), hlm. 2.
[7] Khithab
adalah firman atau ketentuan Allah Taala yang berisi perintah dan larangan.
Dimana dalam pandangan Rachmat Syafi’i dinyatakan bahwa yang khithab itu sendiri bila dikaitkan
dengan definisi hukum merupakan segalam bentuk dalil, baik al-Qur’an maupun
as-Sunnah.
[8] Nofiardi, Hukum Syara’ dan Fiqih ...,
hlm. 61.
[9] Shindu Irwansyah, Perbuatan Dan Pertanggungjawaban Hukum Dalam Bingkai Ushul Fikih, TAHKIM, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. Vol.1 No.1 (Maret, 2018), hlm. 90-91.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Sri Sudiarta, Fiqh Muamalah Kontemporer..., hlm. 2.
[13] Nofiardi, Hukum Syara’ dan Fiqih Menurut Wahbah Al-Zuhaili, hlm. 63-64.
[14] Siska Lis Sulistiani, Perbandingan
Sumber Hukum Islam, TAHKIM : Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. Vol.1
No.1, Maret 2018. Hlm. 104-105.
[15] Fathul A Aziz, Fiqih Ibadah Versus Fiqih Muamalah, el-JIZYA Vol. 7 No. 2 (Juli-Desember 2019), hlm. 245.
[16] Zainil Ghulam, Relasi Fiqh Muamalat Dengan Ekonomi Islam..., hlm. 133.
[17] Ibid, hlm 134.
[18] Miftahul Ulum, Fiqih Mumalah dalam Dakwah Ekonomi, AL-IMAN: Jurnal Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol.1, No. 2, (2017), hlm. 277-278.
0 Komentar