PENGERTIAN DAN KEDUDUKAN HARTA DALAM ISLAM
(Fiqih Muamalah Bag. 3)
Oleh : Mohammad Suyudi, SH., M.H.
Alhamdulillahi
wa ash-sholatu wa as-salamu ala Rasulillah, wa ba’du.
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan
secara rinci terkait dengan pembagian dan ruang lingkup fiqh muamalah. Dimana
Al-Fikri dalam pandangannya, menjelaskan bahwa salah satu bentuk fiqh mumalah
adalah mumalah adabiyah yang notabene nya menjelaskan tentang perkara muamalah
dari sisi objeknya, seperti benda yang halal, akad-akad yang berkaitan
dengannya, dan hal-hal lainnya.[1]
Selain itu dalam pembahasan sebelumnya juga
dijelaskan bahwa objek ini adalah suatu benda atau sesuatu yang memiliki nilai
ekonomis. Dimana dalam istilah lainnya disebut juga sebagai harta. Adapun
penjelasan lebih rinci dari pada harta itu sendiri, akan diuraikan oleh penulis
dalam pembahasan berikut.
A.
Pengertian
Harta
Secara
etimologi, harta merupakan arti dari pada kata “al-mal”. Kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang asal katanya
berasal dari kata “maala, yamilu, mailan”,
yang berarti condong, cenderung dan miring.[2]
Penamaan ini sangat cocok untuk dijadikan sebagai istilah dari pada harta, yang
notabene nya menajdi sesuatu yang dicenderungi, dicondongi atau banyak disukai
manusia.
Sedangkan
secara terminologi, banyak dari kalangan ulama yang memberikan definisi dari
pada harta itu sendiri. Dimana dari berbagai definisi yang dikemukakan, dapat
disederhanakan ke dalam 2 bahasan umum, yaitu harta menurut umhur ulama dan
harta menurut ulama hanafiyah.
Dalam
pandangan jumhur ulama, harta merupakan sesuatu yang menjadi kecenderuangan
tabiat manusia yang dapat dikuasai, disimpan dan dimanfaatkan dalam waktu
tertentu.[3]
Sedangkan dalam pandangan ulama hanafiyah, yang salah satunya dikemukakan oleh
Ibnu Abidin bahwa harta merupakan sesuatu yang menjadi kecenderungan tabiat
manusia yang memungkinkan untuk disimpan sampai waktu dibutuhkan untuk
digunakan.[4]
Dari pengertian
di atas dapat dipahami bahwa ada satu perbedaan
yang mendasar antara apa yang dikemukakan oleh umhur ulama dan ulama
hanafiyah. Dimana dalam pandangan jumhur, manfaat merupakan bagian dari pada
harta. Sedangkan menurut ulama hanafiyah, manfaat merupakan milik dan bukan
termasuk harta karena tidak dapat disimpan.[5]
Namun dalam
perkembangan kelimuan dari masa ke masa, ulama hanafiyah mutaakhirin mulai mendefinikan harta sebagaimana dikemukakan oleh
para ulama yang lebih komprehensif dan menyeluruh dari pada pandangan para
pendahulunya. Pandangan yang demikian didasari oleh keadaan masyarakat dan
perekonomian yang mana manfaat banyak memberikan tambahan harta bagi manusia
yang memiliki manfaat itu sendiri.[6]
Oleh karena
itu untuk mempermudah pemahaman tentang harta, maka dapat kita ikuti terkait
dengan jumhur ulama yang dalam ha ini termasuk ulama hanafiyah mutaakhirin, bahwa segala sesuatu dapat
dikatakan sebagai harta apabila keberadaannya dapat disimpan dan dapat
dimanfaatkan.[7]
Selanjutnya dari
berbagai pandangan terkait dengan definisi dari pada harta sebagaimana
dijelaskan di atas, pada dasarnya dapat disederhanakan bahwa harta itu sendiri dapat
diartikan dari 2 perspektif, yaitu perspektif aniyah dan urf.
Harta dalam
perspektif aniyah merupakan harta yang seharusnya berupa barang yang berujud
dan nyata dalam kehidupan manusia, seperti uang, rumah, tanah dan lainnya. Sedangkan
dalam perspektif urf, harta meruapa segala sesuatu yang dalam kebiasaan
masyarakat dianggap sebagai harta, termasuk dalam hal ini adalah manfaat yang
notabene nya tidak terlihat secara nyata.[8]
B.
Kedudukan
Harta
Dalam Islam,
harta merupakan hal yang dianggap sangat penting daam kehidupan manusia. Hal
ini sebagaimana kita ketahui bahwa harta merupakan salah satu bagian dari maqashid al-syariah atau tujuan dasar
dari pada agama untuk menjamin harta manusia itu sendiri.[9]
Meskipun demikian
keberadaannya tidak diperkenankan menjadikan kita mengejar harta secara berlebihan,
sehingga menyebabkan kita lupa akan perintah Allah Taala dalam kehidupan kita
itu sendiri. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui terkait dengan
kedudukan harta dalam hidup manusia.
Dalam Islam
terdapat beberapa kedudukan harta dalam kehidupan manusia itu sendiri, yang
diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Harta adalah penunjang kehidupan
Dalam al-Quran, Allah Taala berfirman sebagai berikut:
وَلَا
تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ اَمْوَالَكُمُ الَّتِيْ جَعَلَ اللّهُ لَكُمْ قِيمًا
وَّارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang
belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah
sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu)
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”. (QS. al-Nisa: 5).[10]
Dari penjelasan ayat di atas,
Allah Taala menjelaskan tentang kedudukan harta yang diberikan-Nya kepada
manusia sebagai penunjang kehidupan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam
menjalaninya.
Bahkan dalam suatu ayat
dijelaskan bahwa harta merupakan perhiasan bagi manusia, yang notabene nya pada
dasarnya boleh saja bagi manusia memiliki nya sebanyak mungkin. Hal ini
dikarenakan dengan harta banyak kebaikan yang bisa dilakukan oleh manusia.
Allah Taala berfiman dalam surah
al-Kahfi ayat 46, yang bunyinya adalah sebagai berikut:
الْمَالُ
وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا , وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ
عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
“Harta dan anak-anak
adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh
adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi
harapan”. (QS. al-Kahfi : 46).[11]
Namun demikian keberadaannya,
bahwa dalam menjalani kehidupan di dunia, manusia yang telah dilengkapi dengan
harta sebagai rezeki dari Allah Taala dapat difungsikan untuk memenuhi segala
perjalanan hidup di dunia, dengan ketentuan tidak bertentangan dengan apa yang
menjadi aturan Allah Taala dalam kehidupan manusia itu sendiri.
Hal tersebut dikarenakan pada
dasarnya manusia dicipatkan di dunia ini semata-mata untuk beribadah kepada
Allah Taala. Sebagaimana Allah Taala jelaskan dalam surah adz-Dzariyat ayat 56
berikut:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan
Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz Dzariyat: 56).[12]
Oleh karena itu, penting dalam
memaknai menunjang kehidupan dalam hal ini tidak hanya mencakup kehidupan di
dunia semata, melainkan juga kehidupan akhirat yang lebih kekal. Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda sebagai berikut:
لَا تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ جَسَدِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيْهِ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ
“Kedua kaki
seorang hamba tidaklah beranjak dari tempat hisabnya pada hari kiamat hingga
ia ditanya mengenai empat hal: (1) umurnya, untuk apakah ia habiskan, (2)
jasadnya, untuk apakah ia gunakan, (3) ilmunya, apakah telah ia amalkan, (4)
hartanya, dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan”. (HR Ibnu
Hibban dan at-Tirmidzi).[13]
Dari hadist di atas, dapat kita
pahami bahwa terkait dengan harta akan menjadi salah satu objek perhitungan
amal manusia yang juga memiliki pengaruh besar dalam menentukan hidup manusia
di akhirat kelak.
Dengan posisi harta pada
kedudukan ini, secara tidak langsung pada dasarnya keberadaan harta itu sendiri
secara garis besar merupakan alat yang dapat mempermudah manusia dalam
menjalankan syariat Allah Taala selama hidup di muka bumi ini. Oleh karena itu
dalam al-Quran dan penjelasan para ulama, harta juga dikenal dengan sebutan al-khoir yang artinya kebaikan. [14]
Penyebutan yang demikian karena
kedudukannya yang dapat mempermudah manusia untuk melakukan banyak kebaikan,
seperti puasa, zakat, sedeka, sholat, dan lain sebagainya. Sehingga sangat
ditekankan bagi kita untuk menggunakan harta itu sebaik mungkin.
Hal yang demikian selaras dengan
apa yang dinyatakan oleh al-Hakim al-Turmudzi sebagaimana dikutip oleh Ammi Nur
Baits dalam bukunya, bahwa:
“Harta pada asalnya merupakan pendukung bagi para hamba untuk urusan
agama mereka. Dengan harta mereka bisa sholat, puasa, zakat, atau sedekah.
Fisik tidak bisa tegak kecuali dengan harta. Amal anggota badan juga bisa
terlaksana karena harta. Oleh karena itu, harta layak untuk kita sebut dengan al-khoir, karena banyak kebaikan yang
terlaksana dengannya”.[15]
2.
Harta adalah
amanah Allah Taala
Harta merupakan amanah dapat
diartikan bahwa keberadaan harta yang melengkapi kehidupan manusia sebenarnya
hanya sebuah titipan dari Allah Taala yang notabene nya Dialah merupakan
Pemilik sebenarnya. Hal ini selaras dengan penjelasan sebelumnya yang
menjelaskan bahwa terkait dengan harta akan dimintai pertanggung jawabannya
oleh Allah Taala.
Dalam al-Qurah terdapat banyak
ayat yang menjelaskan bahwa segala apa yang ada di alam ini merupakan milik
Allah Taala. Salah satunya disebutkan
dalam surah al-Baqarah ayat 284 yang bunyinya adalah sebagai berikut:
لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ ۗ
“Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi”.
(QS. al-Baqarah : 284).[16]
Dari ayat di atas
dapat dipahami bahwa harta pada dasarnya juga merupakan titipan yang notabene
nya milik Allah Taala yang diberikan kepada manusia untuk menunjang kehidupannya.
Oleh karena itu, dalam ayat lain harta disebut juga dengan istilah mal Allah, yang artinya harta Allah.[17]
Allah Taala berfirman dalam surah an-Nur ayat 33, yang
bunyinya sebagai berikut:
وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ
“...dan berikanlah kepada mereka
sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu...”. (QS. al-Nur : 33).[18]
Oleh karena itu, kedudukan harta dalam yang kedua ini
memberikan penerangan bagi pemikiran kita bahwa dalam memperlakukan harta kita
harus mencari dan menggunakannya dengan cara yang benar dan tidak bertentangan
dengan syariat Allah Taala.
3.
Harta
merupakan sebuah parameter
Keberadaan harta sebagai
penunjang dan amanah dari pada Allah Taala bagi manusia, pada dasarnya juga
merupakan sebuah parameter atau alat untuk mengukur baik buruknya manusia dalam
menjalani kehidupan di dunia. Sebagaimana dalam suatu ayat dijelaskan bahwa
manusia dihidupkan di muka bumi untuk diuji siapa yang paling baik di antara
mereka.
Allah Taala berfirman dalam surah
al-Mulk ayat 2, yang bunyinya adalah sebagai berikut:
الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْر
“Yang
menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun”.
(QS. al-Mulk : 2).[19]
Ayat di atas menjelaskan bahwa
manusia diberikan kesempatan untuk hidup di dunia sebagai suatu bentuk ujian
dari pada Allah Taala untuk mencari siapa yang baik di antara mereka. Ujian
yang dimaksud, salah satunya adalah harta yang notabene nya pada hari kiamat
akan dimintai pertanggung jawabannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan pada
hadist tentang 5 hal yang akan ditanya pada hari kiamat yang disebutkan pada
pembahasan sebelumnya.
Dalam kedudukannya harta sebagai
parameter dalam mengukur perbuatan manusia, maka harta dapat saja menjadi
sumber kebaikan bagi manusia bila dalam mendapatkan atau menggunakannya
dilakukan dengan cara yang baik dan tidak melanggar syariat, yang dalam hal ini
sesuai dengan istilah al-khoir yang
telah dinobatkan kepadanya.
Berbeda bila dalam mendapatkan
maupun menggunakan harta dilakukan dengan cara yang tidak dibenarkan oleh
syariah, maka dalam hal ini harta itu sendiri menjadi mala petaka bagi manusia
itu sendiri. Dimana yang demikian harta dapat dikatakan sebagai fitnah atau
suatu cobaan bagi manusia itu sendiri.
Allah Taala berfirman dalam surat
al-Taghabun ayat 15, yang bunyinya adalah sebagai berikut:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ
وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya
hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala
yang besar”. (QS. al-Taghabun : 15).[20]
Bahkan
dalam ayat sebelumnya Allah juga berfirman:
ياَيُّهَا
الَّذِيْنَ امَنُوْا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ
فَاحْذَرُوْهُمْ وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّهَ
غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni
serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (al-Taghabun : 14).[21]
Dari
penjelasaan dua ayat di atas, dapat dipahami bahwa selain keadaannya menjadi
sumber mala petaka (fitnah) bagi manusia, harta juga merupakan musuh bagi
manusia. Sehingga tidak baik bagi manusia untuk terlalu gila atautamak terhadap
harta itu sendiri.
Dengan demikian, penting bagi kita untuk tetap mencari harta dengan semaksimal mungkin, dengan tanpa mengurangi semangat kita untuk tetap
menjalankan selurut titah syariat yang telah ditentukan oleh Allah Taala. Hal ini
dikarenakan keberadaan harta tidak hanya untuk kebaikan hidup di dunia,
melainkan juga menjadi salah satu baiknya kehidupan kita di akhirat kelak.
Allahu A’lam.
[1]
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 4.
[2] Ibid, hlm. 9.
[3] Rizal, Eksistensi
Harta dalam Islam (Suatu kajian analisis teoritis), Jurnal Penelitian,
Vol. 9, No. 1, (Februari 2015), hlm. 95.
[4] Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Medan: FEBI UIN-SU Press, 2018), hlm. 37.
[5] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm, 9-10.
[6] Rizal, Eksistensi Harta dalam Islam..., hlm. 96.
[7] Ibid, hlm. 97.
[8] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm, 11-12.
[9] Ammi Nur Baits, Kode Etik Pengusaha Muslim, (Jogjakarta: Pustaka Muamalah Jogja, 2020), hlm. 36.
[10] Ibid, hlm. 78.
[11] Departemen Agama, al-Quran Perkata..., hlm. 300.
[12]Ibid, hlm. 524.
[13] HR. Al-Tirmidzi Nomor 2341, dalam https://carihadis.com/Sunan_Tirmidzi/2341
[14] Ammi Nur Baits, Kode Etik Pengusaha Muslim, hlm. 37-38.
[15] Ibid.
[16] Departemen Agama, al-Quran Perkata dan Tajwid Warna Rabbani, (Jakarta: PT. Surya Prisma Sinergi, 2012), hlm. 50.
[17] Ibid, hlm. 39-40.
[18] Departemen Agama, al-Quran Perkata.., hlm. 355.
[19] Departemen Agama, al-Quran Perkata..., hlm. 563.
[20] Ibid, hlm. 558.
[21] Ibid.
0 Komentar