PENGELOMPOKAN HARTA DALAM FIQH
MUAMALAH
(Fiqh Muamalah Bag. 4)
Oleh : Mohammad Suyudi
Alhamdulillah, wa ash-sholatu wa
as-salamu ala Rasulillah. Wa ba’du.
Pada pembahasan sebelumnya sudah dibahas
tentang definisi dan kedudukan harta menurut Islam dalam kehidupan manusia.
Dimana secara tidak langsung kita dapat menentukan mengenai apakah sesuatu
dapat kita katakan sebagai harta atau bukan, bagaimana kita memperlakukan harta
karena kedudukan yang dimilikinya dan sebagainya.
Pada pembahasan ini, penulis bermaksud
untuk melanjutkan penjelasan tersebut dengan menguraikan pembahahasan tentang pengelompokan
harta, yang notabene nya dalam berbagai referensi sering diberi sub judul
pembagian harta. Penggunaan istilah dari penulis dalam hal ini dimaksudkan
untuk membedakan istilah antara pembahasan ini dengan pembahasan pembagian
harta dalam lingkup fiqh mawaris.
Dalam fiqh mumalah, harta dikelompokkan
ke dalam berbagai macam yang didasarkan pada jenis dan ciri dari harta itu
sendiri. Pengelompokan yang dimaksud akan dijelaskan secara rinci pada
pembahasan berikutnya.[1]
A.
Harta
berdasarkan hukum pemanfaatannya
Berdasarkan
hukum boleh atau tidaknya memanfaatkannya, harta dikelompokkan ke dalam dua kelompok,
yang diantaranya adalah sebagai berikut:[2]
1. Harta
mutaqawwim
Harta
mutaqawwim merupakan harta yang keberadaannya
diperbolehkan untuk diambil manfaatnya. Harta yang demikian berupa harta yang
cara atau menggunakannya dilakukan dengan cara yang baik dan tidak bertentangan
dengan syariat Islam.
Harta
yang demikian bisa dimisalkan seekor ayam, yang notabene nya merupakan sesuatu
yang boleh dimakan oleh manusia, jika didapatkan dengan cara yang halal dan
dalam memanfaatkannya dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan
syariat. Berbeda bila dalam mendapatkannnya dilakukan dengan cara yang dilarang
atau dalam memanfaatkannya dilakukan dengan cara memukul bukan dengan cara
disembelih yang notabene nya dilarang oleh syariat, maka ayam yang dimaksud
menjadi harta yang dilarang untuk diambil manfaatnya atau haram dimakan oleh
manusia.
2. Harta
ghairu mutaqawwim
Harta
ghairu mutaqawwim merupakan kebalikan
dari pada harta mutaqawwim, yaitu
segala harta yang dilarang oleh syariat untuk diambil manfaatnya. Dimana harta yang
demikian dapat berupa segala harta yang dalam mendapatkan dan memanfaatkannya
dilakukan dengan cara yang yang tidak diperbolehkan atau dilarang oleh syariat.
Harta
yang demikian bisa dimisalkan pada ayam sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
bahwa ayam tidak diperkenankan untuk diambil manfaatnya bisa dalam
mendapatkannya dilakuakan dengan cara mencuri yang notabene nya dilarang oleh
syariat. Sama halnya dalam memanfaatkannya, jika dilakuakn dengan dengan cara
memukul dan bukan disembelih, maka hukumnya juga haram atau tidak diperbolehkan
untuk dimanfaatkan (makan).
Pembagian
harta ke dalam dua jenis sebagaimana dijelaskan di atas, sudah jelas bahwa
terdapat hukum yang terkandung di dalamnya. dimana harta mutaqawwim halal untuk
digunakan atau dimakan, sedangkan harta ghairu mutaqawwim haram hukumnya.
Dengan
adanya hukum yang demikian, melekat pula hukum lainnya bahwa harta mutaqawwim
dapat dijadikan sebagai objek transaksi karena keberadaannya dapat diambil
manfaatnya secara syar’i. Sedangkan harta ghairu mutaqawwim tidak diperkenankan
untuknya, karena menurut jumhur (Syafiiyah, Malikiyah dan Hanabilah) benda
tersebut tidak terhitung sebagai harta.
Oleh
karena adanya hukum yang demikian, keberadaan harta mutaqawwim mendapat
perlindungan dari syariat, yang notabene nya tidak boleh diganggu penggunaannya
oleh siapapun.[3]
B.
Harta
berdasarkan jenisnya
Berdasarkan
jenisnya atau sifat bendanya, harta terbagi ke dalam 2 jenis, yang diantaranya
adalah sebagai berikut:[4]
1. Harta
bergerak (manqul), yaitu harta yang
dapat dipindahan dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti uang, emas, kursi,
beras, dan lainnya.
2. Harta
tidak bergerak (ghairu manqul/’iqar),
yaitu harta yang tidak dapat dipindahkan zatnya, seperti tanah dan lain
sebagainya.
Dalam
pengelompokan harta sebagaimana dijelaskan di atas, terdapat perbedaan pendapat
antara para ulama dalam memberi batasan terhadap harta mana yang tergolong ke
dalam harta bergerak atau tidak bergerak. Salah satunya diemukakan oleh ulama
madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa harta tidak bergera hanya berupa tanah
saja dan lain dari itu merupakan benda bergerak.
Sedangkan
dalam pandangan ulama madzhab Maliki, dinyatakan bahwa harta tidak bergerak
merupakan harta yang jika dipindah akan mengalami perubahan yang dari keadaan
sebelumnya. Sehingga dalam pandangan ini, rumah dan tanaman tergolong ke dalam
harta tidak bergerak karena jika dipindah mengalami perubahan itu sendiri.
Selanjutnya
pengelompokan harta yang demiia juga terdapat beberapa penjelasan yang beraitan
erat dengannya, yaitu salah satunya adalah terait dengan adanya hak syuf’ah, yang
berupa suatu hak yang dimiliki oleh seseorang untuk terlebih dahulu diberikan
penawaran dalam jual beli suatu benda tertentu yang menjadi objek.[5]
C.
Berdasarkan
ada tidaknya persamaan harta
Dalam
hal ini harta terbagi ke dalam 2 macam, yaitu:[6]
1. Harta
mitsil merupakan harta yang ada padanannnya di pasaran yang tidak ada
perbedaannya satu sama lain. Dengan kata lain, harta mistsil merupakan harta
yang pada dasarnya ada banyak di daerah tertentu dan kesamaan itu sama persis
satu sama lain, seperti telor, beras dan lain sebagainya.
2. Harta
qimi merupakan harta yang tidak ada padanannya di pasaran, dimana meskipun ada
persamaannya masih terdapat suatu perbedaan yang signifikan antara unit-unit
dan kualitasnya, seperti tanah, rumah, permata, kitab-kitab yang masih
berbentuk manuskrip dan lain sebagainya.
Pembagian
harta berdasarkan ada tidaknya padanan harta sebagaimana pengelompokan di atas,
pada dasarnya pada keduanya bisa saling merubah diri dari kelompok yang satu
pada yang lainnya sesuai dengan keadaan harta itu sendiri. Misal yang awalnya
tergolong sebagai harta qimi, bisa saja menjadi harta mitsil karena sudah
banyak keberadaannya di suatu daerah.
D.
Berdasarkan
cara penggunaannya
Dalam
hal ini harta terbagi ke dalam dua macam, yaitu sebagai berikut:[7]
1. Harta
istihlak
Yaitu
harta yang digunakan dengan cara menghabiskannya atau bisa disebut sebagai
harta yang habis sekali pakai. Artinya jika suatu benda itu kita gunakan maka
secara tidak langsung barang itu habis atau tidak lagi ada pada diri kita. Dimana harta ini berdasarkan sifatnya terabgi
ke dalam 2 janis lagi, yaitu istihlak haqiqi dan istihlak huquqi.
Harta
istihlak haqiqi merupakan harta yang dalam penggunaannya benar-benar habis atau
tidak ada lagi zat dari pada harta itu sendiri, seperti kayu bakar dalam
penggunaannya benar-benar habis zatnya jika digunakan dan lain sebagainya.
Sedangkan
harta istihlak huquqi merupakan harta yang dalam penggunaannya tidakmenyebabkan
hilang atau habisnya zat dari pada harta itu sendiri, seperti uang untuk
membayar belanjaan yang secara nyata barang itu tidak ada lagi pada diri kita,
akan tetapi zatnya masih ada karena hanya berpindah hak milik semata.
2. Harta
isti’mal
Yaitu
segala harta yang dapat digunakan berulang kali atau tidak habis sekali pakai.
Artinya, meskipun harta ini digunakan oleh pemiliknya, zat nya masih ada dan
bisa digunakan lagi oleh pemilik yang sama, seperti baju, celana, motor dan
lain sbeagainya.
Dari
dua macam harta berdasarkan penggunaannya sebagaimana dijelaskan di atas, dapat
ditarik suatu kesimpulan pada dasarnya perbedaan dari pada keduanya terletak
pada keberadaan zat dari pada harta itu sendiri pada kali pertama menggunakannya.
Dimana jika kali pertama menggunakan suatu harta dan habis atau hilang dari
diri atau tidak lagi di kita, maka harta itu termasuk ke dalam golongan harta
istihlak. Sedangkan jika masih ada zatnya, maka tergolong ke dalam harta
isti’mal.
E.
Berdasarkan
hak miliknya
Dalam
hal ini, harta terbagi ke dalam 3 jenis harta, yaitu sebagai berikut:
1. Harta
mamluk
Yaitu
harta yang status kemilikannya sudah di miliki oleh seseorang atau suatu badan
tertentu. Harta ini dibagi lagi ke dalam 2 kelompok, yaitu harta perorangan (mustaqil) dan harta perkongsian.
Harta
perorangan adalah harta yang dimiliki oleh satu orang saa. Sedangkan harta
perkongsian adalah harta yang dimiliki oleh 2 orang atau lebih, seperti
perkongsian suatu perusahaan dan lain sebagainya.
Harta
perorangan dan harta perkongsian bisa saja saling merubah diri statusnya antara
satu sama lainnya. Misalnya perusahaan
bersama yang dikemudian hari dialihkan kepemilikannya pada satu orang diantara
mereka atau orang lainnya, atau misalkan yang awalnya milik perorangan yang
dikemudian hari dirubah kepemilikannya menjadi milik bersama karena adanya
pemindahan hak milik pda sebagai harta tersebut.
2. Harta
mubah
Yaitu
harta yang tidak dimiliki oleh siapapun. Misalnya, binatang buruan, air sungai
dan lain sebagainya. Dimana keberadaannya bisa saja pada suatu waktu tertentu bisa
saja dimiliki oleh perorangan atau badan hukum tertentu ketika sudah dilakukan
tindakan pemilikan, seperti binatang buruan yang sudah didapatkan, air sungai
yang sudah diambil oleh seseorang tertentu untuk keperluan dirumahnya, dan lain
sebagainya.
Tindakan
pemilikan sebagaimana dijelaskan di atas, didasarkan pada suatu kaidah yang
berbunyi: “Barang siapa yang mengeluarkan
dari harta mubah, maka secara tidak langsung ia menjadi pemilik dari pada harta
tersebut”.
3. Harta
mahjur
Yaitu
harta yang tidak boleh dimiliki oleh siapapun, tetapi pemanfaatannya bisa
dinikmati oleh pihak tertentu. Harta yang demikian ini bisa juga dikenal dengan
sebutan harta wakaf, yang notabene nya tidak dimiliki oleh pihak tertentu,
tetapi manfaatnya dimiliki oleh pihak yang menjadi tujuan dari pada wakaf itu
sendiri.
F.
Berdasarkan
dapat tidaknya dibagi
Dalam
hal ini, harta terbagi ke dalam harta yang dapat dibagi dan harta yang tidak
dapat dibagi. Harta yang dapat dibagi disebut juga dengan istilah qabilu lil qismah, yaitu harta yang jika
dipisah-pisah antara bagian-bagiannya tidak akan menimbulkan kerusakan atau masih
bisa dimanfaatkan sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, beras, tepung, gula dan
lain sebagainya.
Sedangkan
harta yang tidak dapat dibagi, dalam ilmu fiqih muamalah dikenal dengan istilah
ghairu qabilu lil qismah, yaitu
setiap harta yang jika dibagi-bagi atau dipisah-pisah antar bagian satu dengan
lainnya akan menimbulkan kerusakan dan tidak dapat diambil manfaatnya sesuai
dengan kegunaannya. Misalnya, meja, rumah, kursi, dan lain sebagainya.
Pembagian
harta ke dalam dua macam di atas, memiliki beberapa korelasi atau manfaat tersendiri
terdapat pembahasan beberapa hukum-hukum yang menjadi bagian dari pada
pembahasan dalam perkara mumalah. Salah satu diantaranya dalah mengenai
eksekusi putusan hakim dalam perkara pembagian suatu harta tertentu. Dimana
untuk harta yang dapat dibagi maka ekskusinya disebut dengan qismah at-tafriq
atau pembagian dengan cara pemisahan. Sedangkan untuk harta yang tidak dapat
dibagi, maka ekskusinya disebut sebagai qismah ridhaiyah atau pembagian dengan
cara merelakan.
G.
Berdasarkan
asal mualanya
Berdasarkan
hal ini, harta terbagi ke dalam harta asal dan harta hasil. Harta asal atau
harga pokok merupakan segala harta yang dengannya dapat menghasilkan harta
lain, seperti rumah, uang, perkbunan dan lain sebagainya. Sedangkan harta hasil
merupakan segala harta yang merupakan hasil atau buah dari pada harta pokok,
seperti buah dalam perkebunan, uang hasil modal, uang sewa dari suatu rumah dan
lain sebagainya.
Dari
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa harta pokok dapat dikatakan juga
sebagai modal, sedangkan harta hasil yang dimaksud merupakan buah hasil dari
pada modal itu sendiri.
Kemudian
dari adanya pembagian harta sebagaimana dijelasakan pada sub bab ini, dapat
dijadikan pedoman dalam mempermudah penjelasan suatu hukum lain dalam perkara
mumalah, seperti perkara wakaf yang notabene nya harta asalnya tidak dapat di
bagi-bagi dan harta hasilnya atau manfaatnya bisa dibagikan kepada pihak yang
menjadi tujuan wakaf itu sendiri.[8]
[1] Sri Sudiarti, Fiqh Muamaah Kontemporer, (Medan: FEBI
UIN-SU Press, 2018), hlm. 43-50.
[2] Naerul Edwin Kiky Aprianto, Konsep Harta Dalam Tinjauan Maqashid
Syariah, Journal of Islamic Economics Lariba, Vol. 3, (2017), hlm. 67.
[3] Sri Sudiarti, Fiqh Muamaah Kontemporer, (Medan: FEBI
UIN-SU Press, 2018), hlm. 43-44.
[4] Rizal, Eksistensi Harta Dalam
Islam (Suatu Kajian Analisis Teoritis), Jurna
Penelitian, Vol. 9, No. 1, Februari 2015, hlm. 105.
[5] Fithriana Syarqawie, Fikih Muamlah (Banjarmasin: IAIN
ANTASARI Press 2015), hlm. 1.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Sri Sudiarti, Fiqh Muamaah Kontemporer, hlm. 45-50.
0 Komentar