Dimensi Permasalahan Perikanan Indonesia dalam Perspektif Lingkungan Hidup


Dimensi Permasalahan Perikanan Indonesia

 

ORIENTASI

Perikanan merupakan segala kegiatan yang berkaitan dengan ikan, baik dalam pengelolaan maupun pemnafaatannya. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan dinyatakan bahwa perikanan merupakan semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.[1]

Objek dari perikanan dalam hal ini adalah ikan itu sendiri, yang keberadaannya tidak pernah lepas dari adanya laut sebagai wadahnya. Laut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai kumpulan air asin (dalam jumlah yang banyak dan luas) yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau.[2]

Dalam konteks religi, laut beserta isinya merupakan nikmat Allah Tuhan Alam Semesta yang diperuntukkan kepada manusia dan makhluk hidup lainnya. Bahkan dalam hal nikmat tersebut, Allah memberikan keleluasaan dengan menghalalkan setiap yang hidup dan bahkan bangkai yang ada di dalamnya untuk dimakan oleh manusia, kecuali hewan-hewan yang haramuntuk dimakan seperti buaya, katak dan lain sebagainya. Hal ini sebagai Allah Taala dalam firman-Nya:

Artinya : “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allâh Azza wa Jalla yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”. (QS. Al-Maidah: 96).[3]

Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa segala spesies di laut halal untuk dimakan, terlebih lagi ikan sebagai kekayaan laut yang notabene nya merupakan bahan kebutuhan manusia sehari-hari. Oleh karena itu, sebagai manusia kita harus memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya dengan tanpa merusak kehidupan di laut itu sendiri.

Berbicara tentang laut dan kehidupan di dalamnya, perlu diketahui bahwa Indonesia disebut sebagai negara maritim. Penyebutan tersebut diakrenakan Indonesia memiliki luas perairan lebih besar dari pada luas daratan, dimana dari luas total wilayah Indonesia yang besarnya 7,81 juta km2 terdiri dari 2,01 juta km2 daratan, 3,25 juta km2 lautan, dan 2,55 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).[4]

Dari adanya data tersebut dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan yang sangat mewah dalam sektor kelautan. Selaras dengan penyandangan status negeri bahwa Indonesia disebut sebagai negeri Zamrud Khatulistiwa. Prabu Jayabaya menyebut Indonesia sebagai negeri yang “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”, yang artinya bahwa Indonesia adalah negeri yang subur, makmur, sentosa, tenteram dan damai.[5]

Diberitakan dalam berita harian Greeners.coLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan bahwa potensi kekayaan laut di Indonesia jika dikonversikan dalam rupiah mencapai Rp1.772 triliun. Konversi tersebut didasarkan pada perhitungan potensi perikanan sebesar Rp313 triliun, terumbu karang sebesar Rp45 triliun, mangrove Rp21 triliun, lamun Rp4 triliun, potensi di wilayah pesisir sebesar Rp560 triliun, potensi bioteknologi sebesar Rp400 triliun, potensi wisata bahari sebesar Rp20 triliun, potensi kekayaan alam dari minyak bumi sebesar Rp210 triliun dan dari transportasi laut senilai Rp200 triliun.[6]

Di balik adanya kekayaan yang terkandung di lautan Indonesia, banyak karena kerakusan dan kurangnya prilaku kehati-hatian manusia menyebabkan kerusakan pada ekosistem di lautan itu sendiri. Dari adanya kerusakan tersebut tidak hanya merugikan ekosistem di laut karena tercemar, melainkan manusia secara individu maupun negara juga juga dirugikan akibat kerusakan tersebut.

Kerusakan ekosistem laut dapat disebabkan oleh berbagai ancaman seperti adanya penangkapan ikan yang dilakukan dengan pengeboman dan adanya pencemaran limbah yang dilakukan oleh manusia.[7] Oleh karena itu pada kenyataannya kerusakan yang ada pada lautan merupakan akibat dari perbuatan tangan manusia, yang dengan kerakusan, ketidakpedulian dan kelalaiannya terhadap lautan dapat merusak lautan itu sendiri.

Perihal tentang kerusakan laut yang diakibatkan oleh manusia, Allah Taala sebagai Dzat Yang Maha Tahu telah mengabarkan hal yang demikian dalam firman-Nya:

Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Ruum: 41).[8]

 

Ayat di atas merupakan ayat yang dapat dijadikan sebuah pelajaran bagi manusia, bahwa kita harus memperbaiki diri dalam mengelola dan memanfaatkan kekayaan laut. Sehingga ekosistem yang ada di dalamnya tidak terganggu dan teremar karena ulah kita.

Selanjutnya mengenai ancaman kekayaan laut Indonesia, diberitakan dalam tempo.co bahwa kekayaan laut Indonesia terdapat memiliki ancaman yang semakin kompleks berupa banyaknya penangkapan ikan ilegal (ilegal fishing) yang dilakukan oleh orang luar negeri untuk meraup kekayaan lautan Indonesia.[9] Oleh karena itu, negara dalam hal ini dituntut untuk memperketat penjagaan terhadap kekayaan laut, baik dari adanya pencemaran yang merusak lingkungan hidup maupun dari adanya penangkapan ikan yang dilakuakn dengan lemanggar hukum.

Dari berbagai permasalah di atas, maka pada sub bab selanjutnya penulis akan menguraikan beberapa penjelasan tentang permasalahan perikanan Indonesia, pendayagunaan sumber daya perikanan, serta peran masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya perikanan Indonesia.

 

KOMPLEKSITAS PERMASALAHAN SUMBER DAYA PERIKANAN INDONESIA

Permasalahan dalam aspek perikanan merupakan hal yang tidak bisa dielekkan lagi, mengingat firman Allah Taala yang menerangkan tentang kerusakan yang diperbuat oleh manusia tidak hanya dilakukan di daratan sebagai tempat utama manusia hidup, tetapi kerusakan itu juga kerap dilakukan oleh manusia di lautan. Firman tersebut tertera dalam al-Quran sebagai berikut:

Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Ruum: 41).[10]

 

Masalah perikanan tidak hanya tentang masalah ikan dan laut sebagai wadahnya, namun termasuk juga di dalamnya adalah lingkungan hidup dan masyarakat sosial. Secara garis besar permasalahan tersebut dapat dikemukakan secara global menjadi 3 aspek permasalahan yaitu aspek sosial, aspek lingkungan dan aspek kelembagaan.

Permasalahan sektor perikanan dalam aspek sosial dapat berupa kualitas nelayan yang kita miliki masih tergolong rendah. Profesi nelayan yang dimiliki kita masih tradisional, baik dalam penangkapan ikan maupun dalam hal kelembagan dari pada nelayan itu sendiri. Kelembagan nelayan yang dimaksud adalah suatu wadah untuk para nelayan agar memiliki pasar yang besar, sehingga tidak terpaku pada keadaan dimana nelayan termasuk pada pekerjaan yang informal dan tanpa syarat.

Keadaan nelayan yang demikian merupakan penghambat atas kesejahteraan nelayan itu sendiri. Hal ini dikarenakan para nelayan belum memiliki keterampilan yang baik sehingga tidak mampu bersaing dengan sektor lainnya.[11] Oleh karena itu, keadaan yang demikian harus diadakan yang namanya penguatan kelembagaan nelayan.

Penguatan kelembagaan nelayan bertujuan agar nelayan dapat bersaing dengan sektor lain, dikarenakan tanpa adanya wadah yang memadai menyebabkan nelayan berada pada posisi penawaran yang rendah ketika diadapkan pada permasalahan prosedural. Sehingga dengan adanya penguatan kelembagaan dimaksudkan agar nelayan mendapatkan pembinaan, pendampingan dan pelatihan dari berbagai instansi terkait. Hal ini juga membantu peningkatan sumberdaya manusia nelayan dalam penangkapan dan pengelolaan usaha.[12]

Selanjutnya dalam aspek lingkungan yang kurang baik yang diakibatkan oleh adanya overfishing, penggunaan sarana dan prasarana penangkapan ikan telah cendrung merusak ekologi laut dan pantai (trawl, bom, potas, pukat harimau, dll) akibatnya menyempitnya wilayah dan sumber daya tangkapan, sehingga sering menimbulkan konflik secara terbuka baik bersifat vertikal dan horisontal (antara sesama nelayan,  nelayan dengan masyarakat sekitar dan antara nelayan dengan pemerintah). Kemudian terkait dengan permasalahan dalam aspek kelembagaan adalah adanya kelemahan dalam pengawasan dan penegakan hukum terkait dengan banyaknya pelanggaran yang ada dalam sektor perikan. [13]

Selait itu, permaslahan dalam sektor perikanan juga terdapat pada aspek sosial ekonomi, yaitu akibat kesenjangan penggunaan teknologi antara pengusaha besar dan nelayan tradisional telah menimbulkan kesenjangan dan kemiskinan bagi nelayan tradisional.  Akibat dari kesenjangan tersebut menyebabkan sebagian besar nelayan tradisional mengubah profesinya menjadi buruh nelayan pada pengusaha perikanan besar.

Permasalahan tersebut menimbulkan permasalahan baru dalam spek sosio kultural, dimana dengan adanya kesenjangan dan kemiskinan tersebut menyebabkan ketergantungan antara masyarakat nelayan kecil/ tradisional terhadap pemodal besar/modern, antara nelayan dan pedagang, antara pherphery terdapat center, antara masyarakat dengan pemerintah.  Hal ini menimbulkan penguatan terhadap adanya komunitas juragan dan buruh nelayan.

 

PENDAYAGUNAAN SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA

Pasang Surut Pengelolaan Perikanan di Indonesia

Kekayaan laut Indonesia merupakan kekyaan yang lebih tinggi dari beberapa negara Asean lainnya, dimana kekayaan laut Indonesia yang mencapai Rp15.000 triliun per tahun yang menunjukkan kekayaan akan laut Indonesia itu sendiri. Telebih lagi jika dikelola dengan maksimal, maka dapat dimungkinkan bahwa Indonesia dapat menjadi negara yang kaya.[14] Oleh karena itu, kini pemerintah melalui menteri Kelautan dan Perikanan mulai menlakukan penjagaan yang ketat dari adanya pencurian ikan yang dilakukan oleh pihak asingdemi menjaga kekayaan laut Indinesia. Penjagaan ini dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan TNI yang disahkan dengan perjanjian kesepahaman (MoU).[15]

Secara historis pada dasarnya pengelolaan perikanan di Indonesia sudah dilakukan sebelum Indonesia merdeka, yaitu pada saat dijajah oleh Belanda. Pada masa ini pengelolaan lautan masih terbilang sederhana dan terbatas pada pemanfaatan perikanan dan media perhubungan atau tranportasi. Dimana sektor perikanan sudah mulai dikembangkan pada tahun 1900M, yang kemudian setelah itu banyak lembaga-lembaga yang dibentuk khusus dalam pengelolaan perikanan seperti Departemen Perikanan (Van Economische Zaken), Het Visscherij Station, dinas perikanan (Onderafdeling Zee Visserij), lembagan penelitian dan pengembangan perikanan (Institute voorde Zee visserij).[16]

Pada masa kolonial Belanda, politik hukum perikanan memberikan hak pada masyarakat untuk memanfaatkan kekayaan laut dan dan bahkan memiliki hak tunggal bila mana sudah turun temurun melakukannya. Adaput terkait dengan produk hukum yang ada pada masa itu adalah sebagai berikut:

1.    Staatblaad  1916,  tentang  perikanan  mutiara,  teripang,  dan bunga karang.

2.    Vissherij Ordonantie 1920

3.    Kustvissherij Ordonantie 1927

4.    Staatblaad 1938 tentang pendaftaran kapal-kapal nelayan asing

5.    Territoriale ZEE en Maritieme Kringen Ordonantie 1939.[17]

Beranjak pada masa penjajahan Jepang, tercatat bahwa tidak ada perubahan yang signifikan dalam pengelolaan perikanan, baik dalam kelembagaan maupun peraturan yang ada. Perubahan yang ada hanya dalam masalah teknis penamaan semata, seperti Departemen Van Economiche Zaken diubah menjadi Gunseikanbu Sangyogu. Sedangkan fungsi dari lembaga yang ada masih sama dengan apa yang ada pada zaman penjajahan Belanda.[18]

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus Tahun 1945, umumnya terkait dengan pengelolaan perikanan dapat kita bahas secara berurutan menjadi 3 fase yaitu fase orde lama, orde baru dan masa reformasi.

Masa orde lama merupakan masa yang pengelolaan perikanan ditekankan pada perluasan wilayah negara dan dasar hukum wilayah Indonesia yang dilakukan dengan melalui  keputusan perdana  menteri Nomor : 400 / PM / 1956 tertanggal 17 Oktober 1956, dibentuklah suatu panitia interdepartemen  yang  bertugas  untuk  merancang  UU  tentang  Laut  Wilayah Indonesia dan daerah maritim yang kemudian pada tahun berikutnya berhasil rancangan undang-undangnya dan dilaporkan pada perdana menteri.

Usaha konsolidasi teitorial tersebut dilakukan dengan menitikberatkan pada aspek politik dan keamanan wilayah yang pada saat itu banyak pemberontakan terhadap upaya disentegrasi bangsa. Dengan dasar polemik inilah lahir deklarasi Djuanda yang berisikan tentang 2 kaidah yang penting, yakni perluasan lebar laut teritorial dari 3 mil menjadi 12 mil dan klaim bahwa seluruh  wilayah  perairan  di  antara  pulau-pulau  Indonesia  merupakan  wilayah pedalaman yang berada di  bawah kedaulatan mutlak Indonesia.  Kedua kaidah hukum tersebut  selanjutnya  dikukuhkan melalui  UU No.  4 (Prp)  Tahun 1960 Tentang Periaran Indonesia,  yang kemudian disusul pada tahun 163 pemerintah mengeluarkan PP Nomor 103 Tentang Lingkungan Maritim. [19]

Deklarasi Djuanda inilah yang menjadi salah satu bentuk koreksi terkait dengan peraturan perikanan pada masa Hindia-Belanda. Pada masa oerde baru pemerintah juga membentuk Deparetemen Kemakmuran Rakyat yang di dalamnya juga terdapat jawatan yang mengatur perikanan, yang kemudian pada masa pengakuan kedaulatan Republik Indonesia dipecah menjadi Departemen Pertanian yang menjdi wadah dari pengelolaan perikanan dan Departemen Perdagangan dan Perindustrian.

Sistem pemisahan kekuasaan tersebut terus berlanjut, hingga pada akhirnya kondisi politik pemerintah memburuk yang mengakibatkan adanya rekonstruksi Departemen Pertanian yang melahirkan Departemen Perikanan Darat/Laut. Hal ini merupakan respon dari pemerintah atas dasar bermusyawarah dengan nelayan yang dikenal dengan sebutan Musyawarah Nelayan I. semakin komplitnya perombakan yang dilakukan pemerintah menyebabkan adanya reposisi terkait Departemen Perikanan Darat/Laut menjadi bernaung di bawah Kompartemen Maitim, yang kemudia mengalami perubahan nama menjadi Departemen Perikanan dan Pengelolaan Kekayaan Laut.[20]

Selanjutnya pada masa orde baru, pemerintah menlanjutkan kontruksi pengelolaan perikanan dengan menitikberatkan pada kepastian hukum tentang batas laut dan pengelolaan kekayaan di dalamnya dalam aspek perikanan. Dari hal ini ada banyak peraturan yang dibuat, seperti UU nomor  1  Tahun  1973  Tentang  Landas Kontinen Indonesia dan beberapa peraturan lainnya tentang perbatasan laut Indonesia dengan negara lainnya.[21]

Sepanjang masa orde baru, kegiatan pegelolaan perikanan hanya ditangani oleh institusi setingkat derektorat jendral, namun dalam sektor perikanan belum mampu menunjang perbaikan sosial dan ekonomi dikarenakan posisi kelembagaannya berda pada posisi lebih bawah dari lainnya yang menyebabkan selalu kalah dalam bernegosiasi.

Setelah masuk pada masa reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid mampu membentuk Departemen Ekplorasi Laut yang kemudian setelah mengalami beberapa perubahan departemen tersebut dikenal dengan sebutan Departemen Kelautan dan Perikanan.[22] Dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid terdapat dua produk hukum yang mewarnai  pola  pengelolaan  sumber  daya  pesisir  dan  laut  yaitu peraturan tentang pemerintahan  daerah  dan  Keppres  tentang  pembentukan Departemen  Kelautan  dan  Perikanan.[23]

Pengelolaan Sektor Perikanan Berbasis Lingkungan Hidup

Pengelolaan sektor perikanan berbasis lingkungan hidup dapat dipahami bahwa hal tersebut merupakan suatu  upaya mengelolan sektor perikanan secara baik, benar, bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup masyarakat.

Dalam hal ini beberapa ciri yang menjadi karakteristik dari pola pembangunan yang berbasis lingkungan, yaitu:

1.    Menggunaan pendekatan integratif dengan maksud agar tercipta keterkaitan yang baik antara manusiadengan lingkungan hidup dari masa ke masa;

2.    Menggunakan pandangan jangka panjang yang dapat digunakan dalam perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan;

3.    Menjamin perataan dan keadilan pada semua masyarakat demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri; dan

4.    Menghargai keanekaragaman hayati yang harus sama-sama dijaga agar tetap terpelihara

Selanjutnya pengelolaan sektor perikanan berbasis lingkungan hidup dapat dilakukan dengan beberapa langkah, sebagaimana dinyatakan oleh Hastuti yang dikutip oleh Samsul Wahidin sebagai berikut:

1.    Tidak mengankap ikan yang belum dewasa dengan menggunakan jaring yang berukuran sesuai ukuran yang ditentukan;

2.    Menentukan bagian perairan yang boleh diambil ikannya dengan diikuti degan kontrol yang baik;

3.    Penutupan musim penangkapan agar ikan yang lain tidak tergangu dan tidak menyebabkan spesies ikan berkurang serta diadakan pelarangan ditempat ikan yang sedang dalam fase pedewasaan.

Pengelolaan sektor perikanan berbasis lingkungan hidup dilakukan dnegan tujuan agar perekonomian dalam negara merata dan efisiensi, mengentaskan kemiskinan, dan pemantapan jati diri masyrakat, serta untuk menjaga keanekaragaman hayati yang ada.[24]

Dalam pengelolaan sumber daya perikanan tidak terlepas dari peran pemerintah di dalamnya yang memiliki beberapa fungsi dianataranya adalah fungsi alokasi yang membagi perairan sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan, fungsi distribusi dengan maksud agar semua lini masyrakat sama-sama menikmati kekayaan laut, dan fungsi stabilisasi dengan maksud menstabilkan setip kondisi sektor perikanan dari hal yang dapat merusaknya.[25]

Landasan Hukum Pengelolaan Sektor Perikanan di Indonesia

Indonesia sebagai negara maritim yang memiliki luas lautan terbesar menjadi sebuah alasan terkait dengan kekayaan sumber daya perikanannya. Oleh karena itu, dalam hal ini perlu dikelola dengan baik tanpa merusak kekyaan tersebut, serta dijaga kehayatiannya. Dalam hal menjaga ini, pemerintah memiliki peran penting melalu peraturannya agar tidak ada tindakan-tindakan yang melanggar kehidupan laut.

Dalam kaitannya dengan peran pemerintah, di Indonesia terdapat beebrapa peraturan yang diterbitkan untuk mengatur sektor perikanan diantaranya adalah:

1.    UUD NKRI Tahun 1945, tepatnya dalam Pasal 33;

2.    Konvensi Hukum Laut Tahun 1982, tepatnya dalam Pasal 61;

3.    United Nation Stock Agreement oleh FAO tahun 1995;

4.    Code of Conduct for Responsiblee Fisheries oleh FAO tahun 1995 tentang Pengelolaan Perikanan Bertanggung Jawab;

5.    UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan; dan

6.    UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.[26]

PERAN MASYARAKAT TERHADAP PENGELOLAAN SEKTOR PERIKANAN DI INDONESIA

Ikan merupakan nikmat Allah Yang Maha Kuasa sebagai rizeki-Nya kepada kita. Ikan merupakan makanan yang dapat digolonggan sebagai kebutuhan pokok, hal ini dikarenakan ikan merupakan makanan yang sering disantap oleh manusia untuk melepas lapar maupun rasa keinginannya, meskipun pada dasarnya dapat digantikan dengan lauk lain seperti telor dan lain sebagainya.

Keberadaan ikan tidak lepas dari adanya nelayan. Aris K. Pranoto menggolongkan masyarakat nelayan menjadi empat kelompok yaitu masyarakat nelayan tangkap,, masyarakat nelayan pengumpul/bakul, masyarakat nelayan buruh dan masyarakat nelayan tambak.[27] Dari danya pengelompokan tersebut setiap kelompok memiliki peran masing-masing dalam pengelolaan dan pemanfaatan ikan.

Nelayan tangkap memiliki peran dalam pengadaan ikan, yang notabene nya keberadaan ikan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, bahkan di beberapa daerah terkadang ikan merupakan hal yang jarang keberadaannya meskipun keberadaannya berada di wilayah pesisir, dikarenakan tidakadanya nelayan yang memu menangkap ikan karena obka yang besar karena faktor lain. Oleh karena itu dalam hal ini peran masyarakat pesisir (nelayan) sangat dibutuhkan keberadaannya.

Namun demikian kebaradannya karena kurangnya perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah terhadap kegiatan nelayan menyebabkan nelayn melakukan penangkapan ikan dengan aat sederhana atau masih tradisional, sehingga penangkapannya tidak terlalu optimal.[28] Menurut FAO tentang alat tangkap ikan yang sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) ada 9 kriteria yang harus dipenuhi yaitu, mempunyi selektivitas yang tnggi, tidak merusak habitat, menghasilkan ikan yang berkulitas tinggi, tidak membahayakan nelayan, produksi tidak membayakan konsumen, By-catch rendah, dampak ke biodeversty rendah, tidak membahayakan ikan yang dilindungi dan dapat diterima secara sosial.[29]

Dari adanya pengadaan yang dilakukan oleh nelayan pengeloaan perikanan berdampak pada peran lainnya yaitu membantu jalannya perekonomian pasar. Dimana kegiatan pasar ikan di daerah pesisir cukup tergolong tinggi karena kebutuhan masyarakat akan ikan itu sendiri.[30]

Selain menjadi pengumpul kekayan laut untuk hjat orang banyak, nelayan tangkap juga memiliki peran penting bagi negara yaitu sebagai penjaga dan pengawas pulau-pulau kecil dan terpencil.[31] Dengan adanya nelayan tangkap yang terkadang jangkauannya sampai pada batas laut kenegaraan sangat berfungsi untuk mengawasi bila mana sangat mungkin adanya kapal negara lain yang masuk ke Indonesia atau pun mau keluar darinya. Hal ini sangat membantu negara dalam bidang keamanan, perkonomian dan lain sebagainya, terlebih lagi pengawsan laut di Indonesia tergolong sangat lemah.

Selanjutnya tentang masyarakat nelayan pengumpul atau bakul juga memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan usaha perikanan. Masyarakat nelayan bakul merupaan kelompok masyarakt pesisir yang bekerja disekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan. [32] Dari adanya pengertian ini dapat disimpulkan bahwa peran masyarakat nelayan bakul itu sendiri adalah pemasaran dari pada ikan itu sendiri kepada masayrakat baik di pasar atau di tempat lainnya.

Dari adanya tugas tersebut dapat dipastikan bahwa peran nelayan bakul sangat besar bagi masyarakat umum, meskipun mereka tidak ikut serta dalam kesusahan nelayan di lautan. Besarnya peran mereka ini dapat dilihat betapa banyaknya masyarakat yang auh dari laut juga dapat menikmati akan kekayaan ikan yang ada.

Kemudian masyarakat nelayan buruh merupakan masyarakat nelayan yang tidak memiliki peralatan penangakapan ikan dan menjadi buruh atau pekerja pada orang lain yang memiliki peralatan penangkapan ikan.[33] Jika dilihat dari definisinya, maka dapat dipastikan bahwa peran dari pada masyarakat nelayan buruh hampir sama dengan masyarakat nelayan tangkap, yaitu melakukan penangkapan ikan di laut untuk dimanfaatkan keberadaannya.

 

KESIMPULAN

Sektor perikanan merupakan aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan kekayaak laut. Indoensia memiliki kekayaan laut terbesar dari negara lainnya, karena Indonesia memiliki luas laut yang sangat besar. Oleh karena itu perlu adanya pengelolaan dan pemanfaatan yang dilakukan dengan sebaik mungkin.

Dalam hal ini ada beberapa permasalahan dalam sektor perikanan yang diantaranya adalah adanya kesenjangan sosial antara nelayan, banyaknya ilegal fisihing yang terjadi, serta lemahnya penegakan hukum yang ada di Indonesia.

Dalam pengelolaan sektor perikanan perlu dilakukan berdasarkan lingkungan hidup, agar kehidupan nelayan maupun kehidupan spesies laut tetap teejamin kebaikannnya. Dalam pengelolaan sektor perikanan juga terdapat peran dari adanya msyarakat nelayan, yang dinataranya terdiri dari masyarakat nelayan tangkap, nelayan bakul, nelayan pinggir buruh dan masyarakat nelayan tambak, yang semuanya memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan sektor perikanan.

Baca artikel lainnya disini.

pengertian hukum perikanan, hukum perikatan, masalah perikanan dan solusinya, 4 permasalahan perikanan di indonesia, permasalahan perikanan di indonesia pdf, jurnal masalah perikanan dan solusinya, sebutkan kendala dan permasalahan perikanan budidaya, isu perikanan terkini, masalah perikanan tangkap di indonesia, contoh permasalahan nelayan dan solusinya.

WhatsApp penulis,klik disini.



[1] Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan.

[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam https://kbbi.web.id/laut.

[3] Departemen Agama. 2012. Al-Quran Per Kata Tajwid Warna Robbani. Jakarta: PT. Surya Prisma Sinergi. Hal.

[4] Data Kementerian Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia. Dalam http://www2.kkp.go.id/artikel/2233-maritim-indonesia-kemewahan-yang-luar-biasa. Elviana Zora. Maritim Indonesia, Kemewahan yang Luar Biasa. Diunduh pada tanggal 1 September 2017.

[5] https://poskotanews.com/2019/02/21/kekayaan-alam-kita/. Kekayaan Alam Kita. Harmoko. Diunduh tanggal 21 Februari 2019.

[6] https://www.greeners.co/berita/lipi-potensi-kekayaan-laut-indonesia-senilai-rp1-772-triliun/. Dewi Purningsih. LIPI: Potensi Kekayaan Laut Indonesia Senilai Rp1.772 Triliun. Diunduh pada tanggal 23 April 2019.

[7] Fitri Lestari. Tingkat Kerusakan Laut di Indonesia dan Tanggung Jawab Negara Terhadap Kerusakan  ekosistem Laut Dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut dan Konvensi Hukum Laut 1982. Gema Keadilan. Vol. 4. No. 1. Oktober 2017. Hal. 82-83.

[8] Departemen Agama. Op.cit. Hal.

[9] https://bisnis.tempo.co/read/1283115/ditanya-penenggelaman-kapal-ilegal-menteri-kkp-move-on-dong. Dias Prasongko. Ditanya Penenggelaman Kapal Ilegal, Menteri KKP: Move On Dong. Diunduh pada tanggal 12 Desember 2019.

[10] Departemen Agama. Op.cit. Hal.

[11] Samsul Wahidin. 2019. Dimensi Hukum Perikanan dalam Perspektif Lingkungan Hidup: Implementasi, Kendala, dan Solusi. Yograkarta: Pustaka Pelajar. Hal. 15-16.

[12] Faisal H D Husaen. Prioritas Strategi Pemberdayaan Pengembangan Usaha Mina Pedesaan Perikanan Tangkap Di Kota Ternate. Jurnal Sumbersaya Kelautan dan Perikanan. Vol. 2. No. 2. Maret 2017. Hal. 11-12.

[13] Samsul Wahidin. Op.cit. Hal. 17.

[14] https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/di-laut-kita-kaya. Portal Informasi Indonesia. Di Laut Kita Kaya. Diunduh pada tanggal 1 Agustus 2018.

[15] https://www.wartaekonomi.co.id/read215248/amankan-kekayaan-laut-indonesia-menteri-susi-gandeng-tni.html .Boyke P. Seregar. Amankan Kekayaan Laut Indonesia, Menteri Sus Gandeng TNI. Diunduh pada tanggal 12 Februari 2019.

[16] Samsul Wahidin. Op.cit. Hal. 58-59.

[17] Nirwan Junus. Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut Menurut Undang-Undang Pemerintah Daerah. Jurnal Inovasi. Vol. 9, No.2. Juni  2012. Hal. 5-6.

[18] Samsul Wahidin, Lo.cit.

[19] Nirwan Junus. Op.cit. Hal. 6-7.

[20] Samsul Wahidin. Op.cit. Hal. 62-63.

[21] Nirwan Junus. Lo.cit.

[22] Samsul Wahidin. Op.cit. Hal. 4-65.

[23] Nirwan Junus. Lo.cit.

[24] Samsul Wahidin, Op.cit. Hal. 37-40.

[25] Ibid. Hal. 95.

[26] Ibid. Hal. 152.

[27] Romadi. Peranan Nelayan Sebagai Penjaga “Beranda Negara” Merupakan Bentuk Nasionalisme. Jurnal Sejarah Citra Lekha. Vol. 15. No. 1. Februari 2011. Hal. 11.

[28] Samsul Wahidin. Op.cit. Hal. 137.

[29] Ibid. Hal. 147.

[30] Lilian Sarah Hiariey. Peran Serta  Masyarakat Pemanfaat Pesisir Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Teluk Ambon Dalam. Jurnal Matematika, Sains, dan Teknologi. Vol. 14. No. 1. Maret  2013. Hal. 51-53.

[31] Romadi. Lo.cit.

[32] Efrizal Syarief. Pembangunan Kelautan Dalam  Konteks Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Majalah PP. Edisi-25. 2011. Hal. 3.

[33] Ibid.